BACA JUGA:Tetap Ramai! Pemudik Menuju Jawa Barat Terpantau Masih Tinggi Saat H+2
Pluralisme mengajarkan kesadaran kepada manusia beragama—terutama Islam—akan adanya kemajemukan dalam kelompok umat manusia. Lebih dari itu, pembelaan Gus Dur terhadap seseorang atau suatu kelompok, bukan semata karena mereka berbeda tapi karena sedang mengalami ketidakadilan.
Maka bukan keanehan ketika Gus Dur melakukan pembelaan terhadap Aswendo Atmowiloto—pengasuh tabloid Monitor yang dianggap menghina Nabi Muhammad saw, atau terhadap Inul Daratista (Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, 2006)—di tengah hujatan umat Islam Indonesia.
Sebagian umat Islam menganggap tindakan ini sangat kontroversial. Juga terhadap hak-hak kaum minoritas dan kaum perempuan.
BACA JUGA:Satu Perwira Terjaring OTT, Kabid Humas Polda Lampung Beri Penjelasan
Gus Dur hadir sebagai sosok intelektual, budayawan, pengamat sosial politik, atau sebagai representasi institusi di mana Gus Dur berada, baik sebagai pemimpin Nahdlatul Ulama ataupun sebagai Presiden RI.
Dengan demikian, pembelaannya yang sangat populer atas etnis Tionghoa hanyalah contoh kecil dari pengejawantahan prinsip keadilan yang ia pegang, karena ia menghendaki kesetaraan bagi seluruh warga negara Indonesia, terlepas dari latar belakang etnis, agama, atau identitas lainnya.