Toyub hanya menerima beberapa tahun pendidikan dasar di Myanmar sebelum ia dan keluarganya akhirnya melarikan diri ke Bangladesh pada tahun 2017.
Sejak saat itu, Toyub hanya mengikuti beberapa kelas yang disediakan oleh UNICEF di kampnya, tetapi sekolahnya hiatus karena COVID- 19 pandemi, kata ayahnya Din Mohammed.
“Saya merasa sangat senang melihatnya melakukan ini karena dia juga bahagia. Sekarang kami menjadi pengungsi dan saya tidak punya banyak uang untuk mengirimnya untuk menerima pendidikan yang baik sehingga dia dapat mencapai hal-hal yang lebih baik, ”kata sang ayah.
Di Myanmar, Rohingya direndahkan sebagai imigran ilegal dari Bangladesh, ditolak kewarganegaraannya, dan dikenai pembatasan ketat pada kebebasan bergerak.
PBB mengatakan penumpasan militer 2017 dilakukan dengan niat genosida.
BACA JUGA:Ferdy Sambo Masih Berharap Tunjangan, Ajukan Banding Meskipun Dipecat KEPP
BACA JUGA:Eks Kadensus 88 Antiteror Kasihan Lihat Kapolri Kena Prank Anggotanya Sendiri, Tapi...
Sementara, Myanmar menyangkal adanya genosida, dengan mengatakan pihaknya melancarkan kampanye yang sah terhadap gerilyawan yang menyerang pos polisi.
Lima Tahun Berlalu, Kondisi Pengungsi Rohingya Makin Memilukan
Ratusan ribu pengungsi Rohingya pada Kamis, 25 Agustus 2022 menandai peringatan lima tahun pelarian diri mereka dari Myanmar ke Bangladesh.
Sementara Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara-negara Barat lainnya berjanji untuk terus mendukung upaya para pengungsi untuk mendapatkan keadilan di pengadilan internasional.
Namun nyatanya, muslim Rohingya menghadapi diskriminasi yang meluas di Myanmar, yang mayoritas beragama Buddha.
Pejabat Bangladesh telah gagal untuk mengupayakan pemulangan pengungsi Rohinga ke Myanmar.
Diketahui pemerintah Bangladesh telah melakukan dua upaya untuk mengirim para pengungsi Rohingya kembali ke Myanmar sejak 2017, namun tidak berhasil.
Hingga kini, sebagian besar warga Rohingya harus menelan kepahitan ditolak mendapatkan kewarganegaraan dan hak-hak lainnya.