BACA JUGA:Terus Gaungkan Program Pelajar Mengaji, Pj Wali Kota Tangerang Wisuda 46 Pelajar Penghafal Al-Quran
Menurutnya, salah satu agenda global yang menjadi perhatian besar adalah Sustainable Development Goals (SDGs), yang dirancang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai peta jalan pembangunan berkelanjutan hingga tahun 2030.
“Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, memiliki nilai-nilai yang secara inheren mendukung tujuan SDGs, seperti pengentasan kemiskinan (eradication of poverty), pengelolaan sumber daya alam yang adil dan lestari, hingga pembangunan perdamaian global,” ujar Prof Asep.
Institusi pendidikan tinggi Islam, lanjut Prof. Asep, dapat memberikan kontribusi strategis dalam harmonisasi percepatan SDGs melalui tiga pilar utama Tri Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
“Pendidikan tinggi Islam harus merancang kurikulum yang integratif, menggabungkan nilai-nilai keislaman dengan isu-isu global. Perguruan tinggi Islam di Indonesia memiliki potensi besar untuk membangun kesadaran kritis mahasiswa terhadap isu lingkungan, kesetaraan gender, dan keadilan sosial melalui pendekatan berbasis nilai agama,” jelasnya.
BACA JUGA:880 Wisudawan IPB Dibekali Sertifikat Mikrodensial, Siap Terjun ke Dunia Kerja
BACA JUGA:Jadi Petugas Haji, dr Nana Wisuda S2 di UMY dari Tanah Suci
Sementara Kepala LLDikti Wilayah III, Prof. Dr. Toni Toharudin, S.Si., M.Sc mengungkapkan bahwa data dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, hanya 6% penduduk Indonesia yang telah berhasil mengenyam pendidikan tinggi dari total populasi 275,36 juta jiwa pada Juni 2022.
Menurutnya, meskipun tenaga terdidik lulusan perguruan tinggi terus mengalami peningkatan, namun penting dicatat bahwa tingkat keterserapan lulusan masih menyisakan masalah.
Saat ini kita dihadapkan dengan situasi di mana populasi sarjana menjadi kelompok yang turut menyumbang angka pengangguran cukup tinggi.
“Data terbaru BPS memperlihatkan pendidikan tinggi menyumbang angka pengangguran terbuka sebesar 9,39% (terbesar kedua setelah lulusan SMK yang menyumbang 9,42%),”.
“Ini artinya, banyak lulusan pendidikan tinggi yang belum memperoleh kesempatan untuk diserap oleh dunia usaha dan dunia industri karena umumnya mereka tidak cukup memiliki keterampilan yang dibutuhkan,” ungkapnya.
BACA JUGA:Kampus USC AS Batalkan Pidato Wisuda Mahasiswi Islam, Picu Ketegangan Konflik Israel-Palestina
“Perguruan tinggi harus secepatnya melakukan transformasi pendidikan untuk memenuhi tantangan tersebut. Penyesuaian kurikulum yang lebih adaptif dengan tuntutan dunia kerja, dan menjalin kolaborasi dengan Dunia Usaha/Dunia Industri harus digalakkan.
“Dengan demikian, para lulusan bisa terserap di pasar kerja lebih banyak di masa depan,”sambungnya.