Kompleksitas infrastruktur yang terus berkembang, ditambah masih rendahnya literasi keamanan informasi di berbagai sektor, membuat banyak organisasi menghadapi tantangan dalam menjaga integritas dan privasi data.
Keamanan data kini tak lagi dianggap sebagai urusan teknis semata, melainkan telah menjadi bagian penting dari kepercayaan publik, kelangsungan operasional, hingga reputasi institusi.
BACA JUGA:Jurist Tan Absen pada Panggilan Ketiga, Kejagung Siapkan Proses Penerbitan Red Notice
BACA JUGA:Peserta Puas dengan Penyelenggaraan FORNAS VIII NTB
Tingginya angka kebocoran data di Indonesia menjadi bukti bahwa tantangan ini tidak lagi bersifat potensial, melainkan nyata dan mendesak. Dalam white paper bertajuk "Where’s The Fraud" yang dirilis oleh PT Indonesia Digital Identity (VIDA), Indonesia tercatat menempati peringkat ke-13 dunia dalam jumlah insiden kebocoran data.
Total kasus mencapai lebih dari 157,05 juta data yang bocor, menjadikannya yang tertinggi di Asia Tenggara. Sebagai perbandingan, Malaysia mencatat 52,03 juta kasus kebocoran data, diikuti Thailand dengan 48,92 juta dan Singapura sebanyak 34,73 juta.
Kebocoran data tak hanya mengancam keamanan informasi sensitif, tetapi juga memperbesar potensi terjadinya berbagai bentuk penipuan digital, seperti pemalsuan identitas, phishing, hingga penyalahgunaan akses oleh pihak yang tidak berwenang.
Masih dalam laporan yang sama, lebih dari separuh organisasi yang terkena mengalami kehilangan data (55%), diikuti gangguan operasional (46%), terputusnya hubungan kemitraan (48%), serta dampak serius terhadap reputasi (45%).
BACA JUGA:Manchester United Bakal Datangkan Bintang City Secara Mengejutkan
Dengan demikian, angka-angka tersebut makin menegaskan bahwa kebocoran data bukan lagi isu teknis semata, melainkan telah menjadi tantangan strategis yang berdampak langsung pada kelangsungan usaha dan kepercayaan stakeholders.
Melihat dampak yang semakin luas, penting bagi negara untuk tidak hanya mendorong percepatan digitalisasi, tetapi juga memastikan hadirnya regulasi yang mampu melindungi data secara menyeluruh.
Apalagi, berbagai insiden kebocoran data yang mencuat dalam beberapa tahun terakhir pun menjadi pengingat bahwa transformasi digital harus berjalan beriringan dengan sistem perlindungan yang memadai.
Merespons kebutuhan ini, pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) serta menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP 71/2019).
Kedua regulasi ini menjadi pijakan penting dalam pembentukan tata kelola data yang lebih kuat, aman, dan transparan, baik di sektor publik maupun swasta.
BACA JUGA:Kesuksesan FORNAS VIII Bikin KONI NTB Makin Pede Sukseskan PON 2028