Dalam PMK tersebut, pemerintah pusat memetakan kapasitas fiskal seluruh provinsi, kabupaten, dan kota berdasarkan rasio kemampuan keuangan daerah terhadap total kebutuhan fiskalnya. Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas daerah di Indonesia masih memiliki kapasitas fiskal rendah dan sangat rendah, terutama pada wilayah kabupaten di luar Pulau Jawa dan daerah tertinggal.
Artinya, kemampuan daerah untuk membiayai layanan dasar dan pembangunan publik secara mandiri masih sangat terbatas, bahkan sering kali hanya cukup untuk menutup belanja pegawai dan operasional rutin.
Kondisi ini menegaskan bahwa ketimpangan fiskal antar wilayah masih tinggi, dan banyak daerah belum memiliki sumber pendapatan asli yang kuat untuk menopang otonomi fiskal. Ketika transfer dari pusat menurun, daerah dengan kapasitas fiskal rendah menjadi pihak yang paling rentan ruang fiskalnya menyempit, kemampuan berinvestasi melemah, dan ketergantungan terhadap bantuan pemerintah pusat kian besar.
Belanja Pegawai Menggerus Ruang Fiskal
Belanja pegawai merupakan komponen yang paling dominan dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Di banyak kabupaten/kota, lebih dari 40 hingga 50 persen anggaran daerah dihabiskan hanya untuk membayar gaji, tunjangan, dan honorarium aparatur sipil negara (ASN). Angka ini bahkan bisa melampaui 60 persen di sejumlah daerah dengan kapasitas fiskal rendah.
BACA JUGA:Perpres Ojek Online Segera Rampung, Airlangga: Tak Atur Tarif tapi Fokus Perlindungan Driver
Kebijakan nasional terkait pengangkatan ASN dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) memang lahir dari semangat memperkuat pelayanan publik dan pemerataan tenaga aparatur, terutama di sektor pendidikan, kesehatan, dan pertanian.
Dalam jangka pendek langkah ini patut diapresiasi karena mampu menutup kekurangan tenaga guru, nakes, dan penyuluh di daerah. Namun konsekuensi fiskalnya tidaklah kecil, tambahan beban belanja pegawai yang bersifat tetap dan jangka panjang berpotensi menekan ruang fiskal daerah untuk membiayai program-program pembangunan.
Di sinilah muncul fenomena yang dikenal sebagai fiscal crowding out, yaitu kondisi ketika meningkatnya belanja rutin (seperti gaji dan tunjangan) mengurangi porsi belanja modal yang bersifat produktif.
Padahal belanja modal merupakan motor utama pertumbuhan ekonomi daerah seperti membangun jalan, pasar, irigasi, jembatan, dan infrastruktur sosial dan ekonomi lainnya yang mendorong aktivitas ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.
Ketika belanja modal menyusut pembangunan fisik dan ekonomi pun melambat. Dampaknya tidak hanya dirasakan pada lambannya peningkatan daya saing daerah, tetapi juga pada berkurangnya kemampuan daerah untuk menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) secara berkelanjutan.
Kondisi ini juga memperburuk ketergantungan fiskal terhadap pemerintah pusat. Daerah yang sebagian besar belanjanya terserap untuk pegawai menjadi sulit melakukan inovasi pembiayaan atau investasi pembangunan.
Bahkan ketika Transfer ke Daerah (TKD) dari pusat meningkat, tambahan dana tersebut sering kali kembali hanya untuk menutup kebutuhan gaji, tunjangan, atau tambahan formasi ASN baru.
Dalam konteks keberlanjutan fiskal, struktur APBD yang terlalu berat di sisi belanja pegawai menimbulkan risiko jangka panjang.
- Daerah kehilangan fleksibilitas dalam melakukan penyesuaian kebijakan anggaran ketika terjadi guncangan fiskal, seperti penurunan transfer pusat atau perlambatan ekonomi.
- Rasio belanja produktif terhadap total belanja akan terus menurun, sehingga mendorong daerah masuk ke dalam jebakan rutin fiskal di mana hampir seluruh anggaran habis untuk operasional pemerintahan tanpa menghasilkan nilai tambah ekonomi.