Dian Ciputra

Dian Ciputra

SAYA terlambat tahu: Ny Ciputra ternyata sudah meninggal dunia. Berarti, hanya tiga tahun setelah sang suami mendahuluinyi.

Ada satu pelajaran penting bagi gadis-gadis masa kini. Terutama bagi gadis yang merasa dirinyi sangat cantik. Atau setidaknya cantik sekali. Secantik apa pun Anda masih akan kalah cantik dengan Dian Sumeler —yang awalnya memilih menjadi istri mahasiswa miskin ITB tapi berkembang menjadi konglomerat besar bernama Ciputra.

Saya selalu menjadikan Dian contoh klasik yang Anda sudah hafal ini: di balik apa ada apa.

Suami istri Ciputra-Dian itu sempurna —kalau saja Tuhan tidak cemburu pada predikat itu. Itulah pasangan kekal —seperti ikut hukum kekekalan energi.

Yang suami keras-ngotot. Yang istri lembut-sabar-mengalah. Itu juga lambang bahwa cinta itu —seharusnya— tidak mempertimbangkan rupa dan harta: ”Wajah Ciputra itu sangat jauh dari ganteng”. Tapi, sebagai wanita yang amat cantik, Dian tidak pernah mengejek Ciputra itu jelek —pun kalau itu hanya guyon.

Ciputra contoh orang yang punya keinginan kuat. Kerja keras. Hemat. Ngotot. Sukses. Sekaligus contoh keluarga yang taat beragama, berjuang untuk agama itu, sekaligus contoh kerukunan dan keserasian rumah tangga.

Sama sekali tidak ada omongan tentang cewek atau cowok lain di hubungan suami istri tersebut.

Pun dalam mendidik anak-anak. Sampai pun semua rumah keempat anaknya itu harus di satu blok, bersebelahan atau berseberangan di satu jalan —di kompleks perumahan elite di Pondok Indah.

Dian adalah penyeimbang roket bernama Ciputra.

Awal kisah cinta mereka hampir mustahil terjadi lagi di zaman TikTok ini: gara-gara tabrakan sepeda.

Ketika masih berumur 17 tahun, Dian sudah jadi bintang segala bintang di Manado —di bidang kecantikan. Dian menjadi pembicaraan di basis orang cantik Manado. Sampai-sampai di umur sebelia itu sudah diincar anak salah satu orang terkaya di Manado.

Dian masih harus sekolah. Dia masih berstatus pelajar SMA di sana.

Dian tidak tergiur itu.

Suatu hari Dian naik sepeda memboncengkan temannya, sesama siswi SMA Susteran. Dari arah berlawanan Ciputra diboncengkan sepeda oleh temannya. Sesama cowok siswa SMA Don Bosco. Si teman itulah yang sebenarnya yang menaksir Dian.

Sepeda itu tabrakan. Atau ditabrakkan. Entahlah. Yang jelas, dua cowok itu punya alasan untuk berkenalan dengan dua cewek dari SMA yang berbeda itu.

Anehnya, justru Dian lebih tertarik pada si pemilik wajah yang lebih jelek: Ciputra. Padahal, waktu itu Ciputra anak janda miskin. Ayahnya sudah lama ditangkap Jepang: dituduh jadi mata-mata Belanda. Sejak ditangkap itu, sang ayah tidak pernah kembali —sangat mungkin sudah mati dibunuh Jepang.

Dian asli Manado —setidaknya lahir di Manado, besar di Manado. Dia sendiri merasa sebagai orang Tionghoa Manado.

Sedangkan Ciputra lahir di kota kecil Parigi —di leher ceking Pulau Sulawesi: jauh dari Palu, jauh pula dari Gorontalo.

Sebelum SD, Ciputra sudah diajak ibunya mengungsi ke utara. Ke Desa Bumbulan. Itulah desa di dekat Pantai Tomini, yang masuk Kecamatan Paguat. Anda tentu masih ingat Paguat: pusat bisnis investasi online yang merugikan ribuan investor yang dijalankan seorang polisi berpangkat letnan dua kapan itu (Baca Disway edisi: Investasi Paguat).

Di Desa Bumbulan tersebut Ciputra tumbuh sebagai remaja. Teman terbanyak masa kecilnya ada di desa itu. Kelak, ketika sudah jadi konglomerat, Ciputra naik helikopter ke Desa Bumbulan: menemui semua teman kecilnya, membagikan uang kepada mereka, dan membangunkan rumah bagi yang termiskin. Termasuk membangun pula gereja di situ. Lalu, naik helikopter lagi ke kota kecil Parigi —tempat kelahirannya.

Itulah untuk kali pertama Ciputra ke desa itu, dan ke tempat kelahirannya itu, sejak meninggalkannya. Dan ternyata itu juga untuk kali terakhir.

Baru ketika harus masuk SMA, Ciputra ke Manado. Masuk SMA Don Bosco. Sampai akhirnya tabrakan sepeda itu.

Zaman itu hubungan Dian-Ciputra jadi gosip hebat di sana. Kok mau-maunya: Dian yang begitu cantik berpacaran dengan anak janda miskin, tidak ganteng pula. Padahal, yang gagah nan kaya mengantrenyi.

Umur Dian-Ciputra hanya selisih kurang dari enam bulan. Mereka tidak bisa dipisah lagi. Ketika Ciputra berangkat kuliah ke ITB, Bandung, Dian juga meninggalkan Manado: ke Surabaya. Sekolah farmasi. Lalu, menyusul Ciputra ke Bandung. Kawin di Bandung. Ayah-ibu Dian tidak bisa hadir: tidak ada biaya ke Jawa. Demikian juga ibunda Ciputra.

Ketika Ciputra kuliah, Dian-lah yang bekerja. Yakni, di sebuah perusahaan Belanda di Bandung. Dian fasih berbahasa Belanda. Saat kecil, Dian memang sekolah SD Belanda (HIS). Lalu, masuk SMP Belanda (MULO). Diteruskan ke SMA Susteran —pengganti SMA Belanda yang tidak diperbolehkan lagi.

Semua itu menjadi modal utamanyi untuk bekerja —di samping wajah kebelanda-belandaannyi. Apalagi, dia memang mampu mengerjakan pembukuan keuangan di situ.

Ciputra sendiri bekerja paruh waktu —di sela-sela kuliahnya. Yang penting pengantin baru itu bisa hidup dan Ciputra bisa mencapai cita-citanya menjadi arsitek.

Sebenarnya saya selalu ingin bertanya kepada Dian —apanya yang menarik dari Ciputra-muda. Tapi, setiap kali saya ke rumah Pak Ciputra, selalu saja Dian hanya sebentar ikut menyapa, lalu menghilang ke belakang. Saya selalu mencuri pandang wajahnyi. Pun biar hanya sesapuan, saya harus bilang: Dian cantiiiiiiik sekali. Pun sampai ketika Dian sudah punya cucu.

Saya tidak pernah bisa ngobrol panjang dengan Dian. Dia memang tipe wanita yang tidak mau ikut urusan suami.

Bahwa Dian kemudian dikenal sebagai istri konglomerat, itu kan belakangan. Bahwa dia duduk juga di komisaris banyak perusahaan, itu juga ketika sang suami sudah tiada.

Dian tidak mengincar itu. Dia siap menderita ketika memilih Ciputra —instead of anak orang yang terkaya dulu itu.

Padahal, seperti diakui anak-anaknya, Ciputra itu orangnya keras. Kalau punya kemauan, ngototnya bukan main. Harus tercapai. Harus cepat. Kalau ada yang bikin lambat, ia marah-marah.

”Kalau lihat papa marah, biasanya mama bilang: biarkan saja, nanti kan reda sendiri,” ujar Junita Ciputra, satu di antara empat bersaudara anak Ciputra: Cakra Ciputra, Rina Ciputra, Candra Ciputra, dan Junita Ciputra.

Junita melihat mamanyi orang yang sangat sabar. Tidak punya banyak kemauan. Easy going. Hanya satu yang diinginkan Dian. Pun ketika sudah tua: harus tetap tampil cantik.

”Ke dokter saja harus pakai perhiasan, harus ke salon, dan harus berdandan,” ujar Junita yang kawin dengan Harun Hajadi.

”Dalam hal penampilan, mama itu Manado sekali,” ujar Junita.

Dengan tinggi badan 167 cm, Dian terasa tinggi di tengah teman-temannyi. Tinggi, cantik. Sampai-sampai banyak yang berasumsi Dian itu punya darah Belanda. Keturunan campuran Belanda. Dan itu biasa di Manado.

Rasa penasaran itu membuat anak-anaknyi mengambil keputusan: tes DNA. Dilakukan di Amerika Serikat. Seperti juga yang pernah saya lakukan bersama John Mohn —ayah angkat anak saya.

Hasil tes Dian itu mengejutkan keluarga: darah Tionghoa Dian ternyata hanya 30 persen. Jauh dari bayangan awalnya yang setidaknya 70 persen. Bahkan, tidak ada darah Belanda sama sekali.

Darah Dian justru justru didominasi darah Filipino. Sampai 50 persen. Sedang yang 20 persen sisanya tidak bisa diperinci. Secara global hanya disebutkan 20 persen itu darah ”Asia Tenggara”.

Semua anak Ciputra juga menjalani tes. Hasilnya: darah Tionghoa mereka lebih tinggi. Tentu. Ciputra adalah keturunan murni Tionghoa. Mungkin. Ciputra tidak sempat dites. Waktu ide tes itu lahir, Ciputra sudah sulit mengisikan air liur dalam jumlah yang cukup ke tabung khusus dari lab DNA.

”Ciputra” baru menjadi nama resmi setelah dewasa: Tji-Putra —anaknya Tji. Nama awal Ciputra adalah: Tjie Tjin Hoan. Ayah Ciputra adalah: Tjie Siem Poe yang kawin dengan Lie Eng Nio.

Sebenarnya anak-anak begitu ingin Ciputra menjalani tes itu. Bukan hanya soal darahnya dari mana, tapi juga penyakit apa yang kemungkinan diturunkan ke anak-anak. Agar bisa diantisipasi.

Bahwa darah sang mama didominasi Filipino itu sih sebenarnya wajar. Manado lebih dekat ke Filipina daripada ke Jawa. Raut wajah umumnya orang Manado juga lebih mirip Filipino daripada Jawa. (Dahlan Iskan)

Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Tulisan Berjudul Camat Gembira

Dedi Juliadi
BDL di doa kan biar tidak maju lagi biar tidak disuruh tepuk tangan satu jam,  BCL di doa kan biar tidak cepat menikah lagi siapa tau jadi jodohnya pembaca disway.    

Darko
Kasihan yaa Pak Wisnu mikirin perusahaan nya sampai celanya pada sobek....

Udin Salemo
Anjing lucu punya Pak Hendra Pantangnya makan ikan yang mentah Awali hari senin dengan gembira Pekerjaan lancar jaya rezeki barokah    

ThamrinDahlan Ibnuaffan
Baguslah Camat, Kades, Kadus dan Mantri punya birokrasi di adopsi ke perusahaan swasta.  Bisa jadi tujuan DBL memberi contoh kepada Camat Pemerintah dan jajaran agar bekerja Gembira,  Baiklah,  gembira sesungguhnya keluar dari hati nan tulus ikhlas bekerja bersebab berada di suasana lingkungan kerja kondusif .  Kondusif tercipta karena take home pay melebihi UMR.  Satu lagi Pak Camat bukan seorang pemberang.  Oh Ya Pak Wisnu kepada tidak dilirik Pak Erik Thohir menjabat Camat Garuda Indonesia Airways . Semoga disway.id hari ini di baca Mas Menteri BUMN. rendang makanan ter-enak dunia orang minang pandai berdiplomasi camat itulah jabatan kita semua  ketika dimaknai CAlon MATi Salamsalaman

Amat
di balik senyum istri ada uang yang keluar dari dompet suami. Senyum istri mengandung foundation, bedak, oemerah pipi, perona mata, lipstik, pensil alis, maskara, dll.

Baja Dananto
tidak ada pekerjaan yang berat, asal orang lain yang mengerjakan

Mbah Mars
Jangan sampai kita merasa berat mengerjakan pekerjaan. Sebelum merasa berat, letakkan saja. --Mbah Koplak--

Mbah Mars
Tentang bekerja dengan gembira yg bisa meningkatkan produktifitas itu mirip konsep quantum learning dalam dunia pendidikan. Kita semua pernah mengalaminya pada masa kanak-kanak. Masa yg dikenal dengan istilah golden age. Belajar Bahasa Indonesia misalnya kita lakukan tanpa beban. Tanpa menyengaja belajar. Belajar secara alami. Penuh canda dan ceria. Tahu-tahu kita pandai bicara dengan Bahasa Indonesia. Beda sekali dengan ketika belajar Bahasa Inggris di sekolah. Ada beban. Ada keterpaksaan. Enam tahun belajar hasilnya "cuma paham i love you" saja. Saat belajar berjalan pun betapa bungahnya kita. Jika jatuh, kita bangun. Tidak pernah putus asa. Hasilnya ? Hingga sekarang kita bisa berjalan kemana-mana.

Aryo Mbediun
Ini masalah persepsi mBah Mars.  Di mata penganut body piercing, tubuh itu ibarat semangkok lodeh gori/nangka muda. Jauh lebih sedap bila diberi kecap dan taburan irisan bawang.  Lha kita memandang tubuh kita semangkok es podeng. Yg diberi si koki dah perfect tanpa tambahan apa2. Bahkan irisan hati bikin rasa es jadi ambyar. Apalagi kecap yaa.  Ini masalah persepsi. Juga jalan hidup. #peace #luwe nehh

Mbah Mars
Entahlah. Ini kekurangan saya. Saya tahu kata-kata "Jangan melihat buku hanya dari sampulnya". Saya paham " Lihatlah yg dikatakan jangan lihat orang yg mengatakan". Saya pun setuju orang bilang "Emas tetap emas meski keluar bersama kotoran manusia". Tapi, saya kok tetap belum merasa sreg ya lihat laki-laki pakai tindik dan anting. Mungkin ini kelemahan saya. Belum "menep" sebagai hamba Tuhan Yang Maha Tahu. Seandainya Abah DI kok tiba-tiba pakai anting dan bertato pasti saya tidak lagi mau baca artikelnya. Maafkan baru segitu level derajat saya.

Setio Margono
Betul abah gembira dan saya tambahi guyon adalah pelumas dalam team work.. Ini sudah saya buktikan di team kecil kami,tehnisi produksi di sebuah pabrik nasional di utara jateng.. Kami selalu gembira dan guyon dalam menghadapi masalah ringan maupun berat.. Serius tapi santai.. Niscaya tdk ada masalah yang tdk bisa terpecahkan...

Sadewa
Dalam agama Kristen dikatakan "Hati yang gembira adalah obat" Hadist juga menyebutkan "senyum-mu kepada saudaramu adalah sedekah" Al Quran sampai dua kali menyebutkan "Disetiap kesulitan ada kemudahan" Seakan kita tidak boleh pesimis. Bahkan Rasulullah mengajarkan do'a berlindung dari rasa sedih & gundah. "Ya Allah kami berlindung kepadaMu dari rasa sedih&gundah, dari sikap lemah&malas, dari sikap pengecut&bakhil, dari lilitan hutang & tekanan orang lain". Selamat Hari Senin, jangan lupa bahagia #edisi menyemangati diri sendiri.

yea a-ina
Beda di Mesir dengan kampung kami. Wajah sumringah dengan "prengas-prenges"nya menghiasi anak-anak selesai sholat Jumat. Visi di benaknya, mungkin saja hanya satu-kebagian nasi bungkus Jumat berkah (nasbungjuber). Visi kuat nasbungjuber telah menggembirakan nya. Tak apalah untuk sebuah awal ajakan melakukan ibadah, selanjutnya peran Pak Kiyai dan Ustadz menyampaikan hal lain yang lebih "menggembirakan" daripada sekedar nasbungjuber itu.

PaxPol
Komentar ringan tapi mendalam terkait pernyataan Tuan Guru Bujang "Khusus untuk mengamati raut wajah jemaah yang baru keluar dari salat jumat. 'Tidak ada yang berwajah gembira. Sebagian besar mrengut' katanya." Pertanyaannya adalah kenapa? Apakah ceramahnya mendalam sehingga membuat jemaah berpikir tentang jalan hidupnya kedepan atau karena penuh dengan kemarahan sehingga jemaah keluar dengan hati yang tidak tenteram?

Udin Salemo
Pak Wisnu Wijayanto type orang yang suka tantangan. Bukan orang yang suka terlena dalam zona nyaman (saya dulu terlena dalam zona setengah enak). Berani meninggalkan karir yang sudah menjanjikan bintang di pundak. Lalu masuk ke dunia penerbangan swasta yang tidak menjanjikan untuk jadi bintang. Tapi beliau berani ambil kesempatan yang ada. Menjalani karir dengan profesional dan hati yang bahagia. Membawa beliau kepada kecemerlangan. Orang hebat pada akhirnya memang bukan diorbitkan seperti yang jamak berlaku di dunia politik.

Sadewa
Level kebahagiaan Pekerja kantoran : 
Jum'at : 100% (Thanks God It's Friday) 
Sabtu : 80% 
Minggu: 50% 
Minggu Malam: 10% 
Senin Pagi: -5%

Amat
Entah mengapa, yang paling membahagiakan adalah saat pulang kerja dan jika besoknya libur kerja 

Johan
Kegembiraan dalam bekerja, besar peranan dari seorang atasan, apakah dia bisa membangkitkan motivasi anak buah nya. Anak buah yang termotivasi otomatis akan gembira dan semangat dalam bekerja. Dan kegembiraan akan menular juga sampai ke segala level. Contohnya begini : Seorang HRD manager mengumpulkan karyawan-karyawan di aula kantor. Sang manager memulai pembicaraan : Kawan-kawan, hari ini ada kabar gembira dari manajemen. Akhir tahun ini, sebagai bentuk penghargaan dan terima kasih dari perusahaan, kalian akan diberangkatkan ke Bali untuk refreshing. Buat yang sudah berumah tangga boleh membawa pasangan dan anak. Yang belum berkeluarga bisa membawa pacar atau saudaranya. Bagaimana? Setuju? Karyawan bersahut serentak : Setujuuuuu... ! Manager : Sebelum saat nya tiba, mari kita bekerja dengan rajin, semangat, dan semaksimal mungkin, kita capaikan target target yang sudah dicanangkan perusahaan. Apakah kalian siap? Karyawan : Siiiaap !! Manager : Baik, sekarang marilah kita kembali bekerja. Bubar. Karyawan ke pos nya masing-masing dengan wajah ceria. Sementara itu sang manager HRD masuk ke ruang manajemen. Sang direktur bertanya : Bagaimana pak Dahlan, sudah di sampaikan? Manager HRD : Sudah Pak. Mereka kelihatan gembira dan bersemangat. Sang direktur : Kasihan, mereka kira mereka bisa liburan ke Bali. Ha ha ha ha ha Satu ruangan tertawa terbahak bahak.

Amat
Lagi-lagi tentang persepsi. Entahlah. Dulu sepupu saya punya celana jeans sobek. Oleh neneknya ditambal sobekan-sobekan tadi karena dikira celana jeans cucunya sobek karena rusak

Johan
Jangan berpikir tentang kematian, disaat kita belum mengerti tentang hidup. Kata seorang filsuf. :)

Johan
Kebetulan saya juga banyak kenalan yang kerja di BUMN. Kontrolnya memang kurang, karyawan dari tingkat atas sampai bawah disiplin kurang, KPI bisa nego, pemborosan di segala bidang, fasilitas serba lengkap tapi malas perawatan, dll. Mindset karyawan sudah seperti PNS, pekerjaan nyaman minim resiko. Belum lagi yang keluar belanja sering minta dibukakan 2 nota, hhh

Alexs sujoko sp
Ketika dimutasikan ke wilayah kerja di bawah PT. Arutmin Indonesia di Sungai Danau Kalimantan Selatan. hati awalnya sangat senang karena Site Managernya adalah kawan apel dulu yang sering barengan satu mobil pinjaman punya boss. Sedikit sekali yang diberikan ke kami informasi awal kondisi projectnya. Ternyata begitu dicek, data hasil produksi hauling coal hanya tercapai 70% per tahun dari target 95%. Sangat rendah menurut kami. Jadi ini alasan kenapa beliaunya menarik kami untuk bergabung di satu site. Seminggu awal, tiap hari meeting sangat memalukan karena jadi complainan departement produksi dan departement engineering.  Tidak perlu lama kami harus turun lapangan cek apa problemnya. Ternyata yang dominan adalah Area kerja yang sangat keras di lingkungan kerjanya. Kemudian yang kedua adalah dalam hal disiplin Operator DT cukup rendah, lebih banyak ngeyelnya. Akhirnya kami lakukan gerilya seminggu berikutnya ke pemuka masyarakat yang paling berpengaruh, kami lakukan pendekatan dengan cara - cara yang baik : dengan tidak memberikan sogokan, namun memberikan pekerjaan secara kontinyu dan tanpa tekanan atau kekerasan. Kami juga memberikan bimbingan managementnya untuk Sub Contractor. Itulah yang membuat mereka respek dan mau menerima kami. 

Sin
apa yg dimaksud gembira dlm tulisan ini adl bahagia.. gembira, senang dan bahagia itu beda di rasa..pengantin mungkin aja merasa gembira saat pernikahan, senang saat buka amplop hajatan tapi belum tentu bahagia..klo babang tamvan ternyata layu sebelum mengembang.. gembira itu ekspresi sesaat ditunjukkan dengan tertawa kadang terbahak bahak, kadang sambil joget kadang sambil guling guling..bahkan bisa sampai keluar air mata.. senang itu waktunya lebih lama dan biasanya orang jd lebih sering tersenyum karena hati berbunga bunga..tapi klo senyum senyum sendiri dan terus terusan bisa jadi orang gila ..wkwk klo bahagia itu ada di hati dan perasaan, rentang waktunya sangat lama dan bahagia itu sederhana, cukup secangkir kopi bisa membuat kita hidup bahagia..karena dalam kopi kita belajar bahwa hidup itu harus dinikmati tidak cuma manis kadang juga pahit dan juga sepet..dan akan terasa nikmat jika bertemu dalam kehangatan.. salam kopi tubruk pake ampas..

Er Gham    
Buat penumpang korporasi yang melakukan perjalanan dinas ditanggung kantor (kosasih = ongkos dikasih), Garuda memang menjadi pilihan pertama. Jika tidak kebagian tiket atau tidak ada jadwal Garuda, maka penumpang cenderung memilih Batik Air. Dari segi pelayanan lebih baik dari maskapai induknya dan hampir selalu tepat waktu. Penumpang pun mendapatkan snack dan minuman, walau tidak selengkap Garuda. Jarak antar kursi belakang dengan kursi depan juga cukup jauh, sama dengan di Garuda, sehingga lutut kita tidak langsung bersentuhan dengan kursi depan. Jika landing juga sama empuknya dengan landing oleh para pilot Garuda. Secara tarif lebih murah dibandingkan Garuda (misal Garuda 1 juta, maka Batik Air hanya 600 ribu). Jika Om Wisnu terus berbenah (misal perbaikan kelengkapan food beverage nya saat di udara), dan Garuda masih ada (kayaknya bakal disuntik modal oleh Pak CT), kedepannya Batik Air akan mengambil alih penumpang korporasi yang biasa menggunakan Garuda. Apalagi dengan gaya kasualnya Pak Wisnu, plus hati yang gembira, sehingga manajemen Batik Air lebih lincah. Tidak berat pada masalah birokrasi seperti pesaingnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Komentar: 283