Penukaran Uang Pinggir Jalan Menurut Islam dan Hukumnya

Penukaran Uang Pinggir Jalan Menurut Islam dan Hukumnya

Ilustrasi. Bank Indonesia (BI) kembali membuka layanan penukaran uang jelang Lebaran 2022. --

DISWAY.ID-Praktik penukaran uang lama dengan uang baru mulai menjamur jelang Hari Raya Idul Fitri. Penyedia jasa penukaran menyajikan mulai dari nominal seribu rupiah hingga puluhan ribu namun berbeda dengan penukaran di Bank.

Penukaran uang di pinggir jalan biasanya juga manambahkan tarif tertentu sehingga penukaran uang bisa kurang (kena potongan biaya) atau lebih harus tambah biaya. 

Lantas bagaimana hukum menukar uang tersebut menurut Islam?

Melansir dari NU Online, masalah praktik penukaran uang ini terbilang cukup pelik. 

Praktik ini dapat dilihat dari dua sudut, yakni dari praktik penukaran uang itu (ma’qud ‘alaih) adalah uangnya, maka penukaran uang dengan kelebihan jumlah tertentu dinyatakan haram karena praktik ini terbilang kategori riba.

Tetapi kalau yang dilihat dari praktik penukaran uang ini adalah jasa orang yang menyediakan jasa, maka praktik penukaran uang dengan kelebihan tertentu mubah menurut syariat, karena praktik ini terbilang kategori ijarah.

Ijarah sebenarnya adalah sejenis jual-beli juga, hanya saja produknya adalah berupa jasa, bukan barang.

والإجارة في الحقيقة بيع إلا أنها قابلة للتأقيت وأن المبيع فيها ليست عينا من الأعيان بل منفعة من المنافع إما منفعة عين وإما منفعة عمل

Artinya, “Ijarah (sewa) sebenarnya adalah jual-beli, hanya bedanya ijarah menerima pembatasan tempo. Produk pada ijarah bukan pada barang, tetapi manfaat (jasa) dari sebuah barang atau jasa dari sebuah tenaga (aktivitas),” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Maktabatul As‘adiyyah: 2014 M/1434 H], cetakan pertama, halaman 123).

Perbedaan orang dalam memandang masalah ini muncul dari titik akad penukaran uang itu sendiri. Sebagian orang memandang uang sebagai barang yang dipertukarkan.

Sementara sebagian orang memandang jasa orang yang menyediakan jasa penukaran. Tetapi terkadang barang itu sendiri mengikut sebagai konsekuensi atas akad jasa tersebut sebagai keterangan Nihayatuz Zein berikut ini:

وقد تقع العين تبعا كما إذا استأجر امرأة للإرضاع فإنه جائز لورود النص والأصح أن المعقود عليه القيام بأمر الصبي من وضعه في حجر الرضيع وتلقيمه الثدي وعصره بقدر الحاجة وذلك هو الفعل واللبن يستحق تبعا

Artinya, “Barang terkadang mengikut sebagaimana bila seseorang menyewa seorang perempuan untuk menyusui anaknya, maka itu boleh berdasarkan nash Al-Quran. Yang paling shahih, titik akadnya terletak pada aktivitas mengasuh balita tersebut oleh seorang perempuan yang meletakannya di pangkuannya, menyuapinya dengan susu, dan memerahnya sesuai kebutuhan. Titik akadnya (ma’qud ‘alaih) terletak pada aktivitas si perempuan. Sementara asi menjadi hak balita sebagai konsekuensi dari aktivitas pengasuhan,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Nihayatuz Zein, [Bandung, PT Al-Maarif: tanpa catatan tahun], halaman 259).

Supaya tidak menjadi haram, tarif yang harus dibayarkan pada penukaran uang di pinggir jalan adalah jasanya, bukan pada barangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: jawapos.com