Potret Sunyi Mal di Tengah Ekonomi Seret, Daya Beli Jadi Cerita Sulit
Suasana lorong di salah satu mal di Jakarta sepi tanpa aktivitas jual beli--Bianca Khairunnisa
BACA JUGA:Satgas Impor Tak Akan Razia Pusat Perbelanjaan, Kemendag Minta Pedagang Jualan Seperti Biasa
Masyarakat Menahan Diri
Namun di balik semua inovasi yang digagas pengelola, akar persoalan tetap sama, daya beli masyarakat yang melemah
Menurut Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, faktor ketidakpastian dalam pendapatan sendiri turut menjadi faktor yang berperan penting dalam keputusan masyarakat untuk menahan keinginan untuk berbelanja.
“Dalam ilmu ekonomi, ekspektasi pendapatan masa depan menuntun konsumsi hari ini; ketika ekspektasi itu buram, kurva permintaan rumah tangga bergeser ke kiri. Ketika orang ragu atas keberlangsungan pekerjaan, mereka menahan belanja non-esensial, menunda membeli durables, dan memilih menabung sebagai bantalan risiko,” jelas Achmad ketika dihubungi oleh Disway, pada Sabtu 1 November 2025.
Lebih lanjut, Achmad juga menambahkan bahwa dengan kondisi perekonomian yang cenderung masih tidak stabil, maka rumah tangga pun lebih memilih untuk memprioritaskan kebutuhan primer seperti pangan, energi, pendidikan, dan kesehatan, namun mengerem pengeluaran seperti gaya hidup, cicilan baru, serta liburan.
“Efeknya menyebar, ritel melemah, pabrikan menunda produksi, jasa logistik melambat, hingga bank memperketat kredit konsumsi,” jelas Achmad.
Pengamat usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), Hilda menilai fenomena sepinya pusat perbelanjaan atau mal di berbagai daerah disebabkan karena minat masyarakat yang beralih untuk belanja online.
“Informasi dari pelaku usaha UMKM di lapangan, daya beli masyarakat terhadap produk usaha UMKM lebih disebabkan adanya pergeseran masyarakat yang lebih memilih berbelanja secara online," kata Hilda.
BACA JUGA:Polisi Buru Pelaku Pencurian 3 Ban Mobil di Parkiran Pusat Perbelanjaan Cempaka Mas
Hilda mengatakan masyarakat kini memilih untuk berbelanja online. Hal itu, kata dia, menyebabkan omzet penjualan menurun hingga 70%.
“Mulai dari pelaku usaha UMKM seperti baju, sepatu dan barang-barang kebutuhan rumah tangga juga mengalami kemerosotan penjualan. Penurunan penjualan kisaran 30 hingga 70 persen setiap harinya," ungkapnya.
Para pelaku usaha UMKM baik di tingkat lokal dan nasional berharap pemerintah menaruh perhatian serius terhadap pedagang sektor ini, seperti pedagang pakaian, sepatu dan produk-produk UMKM lainnya.
“Pesatnya bisnis penjualan online shop dalam empat tahun terakhir ditengah-tengah masyarakat era digital saat ini, semakin menyulitkan posisi usaha UMKM untuk bisa bertahan dalam kurun waktu tiga tahun kedepan,” tegas Hilda.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: