Aneh. Tiba-tiba dingin. Tidak ada lagi perang kata dan opini. Menyesalkah? Bahwa perang dagang antara Amerika dengan Tiongkok ini hanya akan merugikan keduanya? Dan merugikan negara lain?
Sudah seminggu ini media di Tiongkok seperti disiram alkohol. Tidak ada lagi judul-judul yang menjelekkan Amerika. Tidak ada opini yang mengejek Donald Trump. Tidak ada karikatur yang menyindir presiden Amerika itu.
Padahal biasanya tidak begitu.
Ternyata ketahuan: pemerintah Tiongkok melarang media di sana berbuat begitu.
Di Tiongkok, media adalah corong pemerintah. Atau terompet partai.
Artinya: cooling downnya media di Tiongkok mencerminkan sikap pemerintahnya.
Di pihak Amerika juga senada. Presiden Trump seperti sedang kriyep-kriyep. Rupanya ia juga menghendaki hal yang sama. Ia tidak lagi mengeluarkan kata-kata kasar. Yang ditujukan ke Tiongkok.
Bahkan pemerintahnya mulai mengeluarkan keterangan menyejukkan: kemungkinan akan ada pengecualian. Terhadap barang-barang tertentu dari Tiongkok. Yang dikenakan bea masuk tinggi: 25 persen.
Bahkan perusahaan telkom Tiongkok, ZTE, sudah dibolehkan jalan lagi. Boleh mengimpor semikonduktor dari Amerika lagi. Meski dengan dalih malu-malu: untuk sementara.
Adakah semua itu pertanda-pertanda? Perang dagang segera berakhir? Tapi bagaimana mengakhirinya? Kan sudah terlanjur seru?
Bagi Tiongkok itu mudah: tinggal komando. Sistem pemerinrahannya top down.
Bagi Amerika mudah-mudah-sulit. Atau sulit-sulit-mudah.
Sulitnya: medianya tidak bisa dikontrol. Dan legislatifnya terbelah.
Mudahnya: Trump sudah biasa tempe-kedelai.
Dampak baiknya langsung terasa. Bursa saham Shanghai mulai berhenti meluncur turun. Mata uang Yuan sudah ragu-ragu untuk terus melemah.
Tesla sudah terlanjur menaikkan harga mobilnya: 20 persen. Untuk pasar Tiongkok. Yang sebenarnya sudah mulai laris. Naiknya bea masuk membuat Tesla menyiapkan jari: untuk digigit.
Suasana baru yang tiba-tiba dingin ini masih seperti malaria. Belum sepenuhnya bisa dipegang. Suasananya masih detente: 'perang dalam dingin'.
Tapi lumayan. Daripada membayangkan eskalasi: dari perang dagang ke perang senjata. Dengan pemicu: Taiwan.
Amerika sempat melakukan --menurut istilah Tiongkok-- provokasi: tiga kapal perangnya sengaja melintasi selat sensitif. Antara Tiongkok dan Taiwan.
Bagi Tiongkok, Taiwan itu harga mati: salah satu propinsinya. Tapi Amerika seperti sengaja memainkan kartu Taiwan ini.
Mumpung presiden Taiwan saat ini, Tsai Ing-wen, ingin merdeka sepenuhnya --diam-diam.
Presiden Taiwan yang lalu sangat pro-gabung-Tiongkok.
Tapi presiden yang sekarang punya ideologi sendiri. Dia memang keturunan Haiwan --suku asli Taiwan.
Dari jalur neneknya, Tsai Ing-wen memang suku Haiwan. Sedang dari darah kakeknya adalah suku Hakka.
Baru kali inilah ada presiden wanita di Taiwan. Bujangan. Umur 54 tahun. Anak bungsu dari 11 bersaudara-tiri: ayahnya punya empat istri.
Pendidikannya hukum: S1 di Stanford Amerika. Doktor hukumnya di London School of Economics.
Suku Haiwan kini minoritas di Taiwan: tinggal 17 persen. Sisanya pendatang dari Tiongkok daratan. Terutama para pelarian. Saat Partai Nasionalis Komintang pimpinan Chiang Kai Shek kalah. Dalam sebuah perang sipil. Melawan Partai Komunisnya Mao Zedong. Di tahun 1949.
Kapal perang Amerika itu sungguh sempat mengkhawatirkan. Siapa tahu Tiongkok tidak lulus ujian kesabaran.
Dulu orang Tionghoa sedunia begitu yakin: tidak akan ada perang di selat itu. Terlalu banyak orang Taiwan yang berbisnis di Tiongkok: lima juta orang.
Perusahaan Taiwan di daratan: 50.000 zhuo. (Di Tiongkok satuan perusahaan bukan 'buah' tapi 'zhuo')
Tidak disangka bahwa kelak, di tahun 2017, Amerika punya presiden bernama Donald Trump. Dan Taiwan punya presiden wanita bernama Tsai Ing-wen.
Dua nama yang tidak bisa disinonimkan dengan kestabilan dunia. (dis)