Saya ke restoran.
Itu milik negara.
Saya beli apel. Di toko buah yang sederhana.
Itu milik negara.
Saya ke gym.
Itu milik negara.
Apalagi kereta api, bank dan pabrik.
Saya lewat daerah persawahan.
Itu milik negara.
Semua milik negara. Dari yang besar sampai sekecil toko buah.
Itulah Korea Utara. Semua usaha adalah usaha negara.
Seperti penjual buah itu. Dia digaji bulanan. Dapat beras, sayur dan buah-buahan. Dari pemerintah. Lewat organisasi sekelas RT.
Dia dapat pakaian seragam. Gratis. Dapat rumah gratis. Berobat gratis. Sekolah anaknya gratis.
Hanya pakaian sehari-hari yang harus beli. Dan tambahan bahan makanan --kalau mau makan lebih banyak. Atau tambah daging --kalau ingin makan lebih enak.
Perusahaan negara adalah lapangan kerja. Untuk rakyatnya.
Tidak hanya penjual buah. Semua rakyat dapat rumah gratis. Sekolah gratis. Berobat gratis. Naik bus kota hanya bayar Rp 75. Listrik di rumah hanya bayar Rp 2500/bulan. Bayarnya tiap tiga bulan.
Semua kementerian memiliki BUMN. Misalnya toko buah tadi: di bawah kementerian perdagangan.
Seperti kita dulu. Sebelum memiliki kementerian BUMN. BUMN kita di bawah kementerian bidang masing-masing.
Hanya saja, di kita, waktu itu, masih banyak juga perusahaan swasta. Atau perorangan.
Korea Utara lebih mirip Tiongkok sebelum kepemimpinan Deng Xiaoping. Warung pun milik negara. Lalu terjadilah swastanisasi besar-besaran. Boleh dikata gila-gilaan. Yang dilakukan Deng Xiaoping. Awal tahun 1980-an.
Seperti warung, toko, potong rambut diberikan kepada perorangan.
Yang bentuknya perusahaan kecil dan menengah diberikan kepada tim manajemennya. Suruh menjalankan sendiri. Hasilnya untuk mereka sendiri. Asal tidak minta pesangon pada negara. Asal tidak ada PHK. Kalau pun ada PHK uang pesangonnya cari sendiri.
Jutaan jumlah perusahaan seperti ini. Yang tiba-tiba menjadi milik pengelolanya.
Dalam perkembangannya terjadi banyak kenyataan: ada yang pengelolanya mampu memajukan perusahaan. Ada yang terpaksa mencari partner.
Perusahaan-perusahaan besar swasta Tiongkok saat ini umumnya berangkat dari cara berpartner seperti itu.
Yang masih dimiliki negara adalah yang besar-besar. Dan yang strategis. Itu pun hanya sebagian yang masih 100 persen milik pemerintah. Sebagian lagi saham pemerintah tinggal 75pct. Atau 50 pct. Atau lebih kecil lagi.
Saya belum tahu model apa yang akan ditempuh Korea Utara. Kalau akan mengubah sistem ekonominya.
Yang jelas kondisi ekonomi Korut sekarang beda dengan Tiongkok 1970. Tidak semiskin Tiongkok waktu itu. Penduduk Korut juga hanya 25 juta orang. Beda dengan beban Tiongkok yang 1,3 milyar.
Korut juga sudah mulai mengenal joint venture. Salah satu dari dua perusahaan telkomnya dijointkan dengan Orascom. Perusahaan terbesar di Mesir.
Itu menimbulkan pertanyaan besar: mengapa pilihannya swasta Mesir. Aneh sekali. Jauh sekali. Mengapa, misalnya, bukan dari Tiongkok. Mengapa bukan dari Singapura. Mengapa bukan Telkomsel.
Demikian juga salah satu gedung baru di Pyongyang. Juga patungan dengan swasta Mesir itu.
Saya bertemu orang Mesir. Di Pyongyang. Di masjid Iran. Untuk salat Jumat bersama. Mereka adalah para eksekutif perusahaan telkom tersebut.
Mereka tidak bisa menjawab pertanyaan saya. ''Kami hanya eksekutif di sini. Tidak tahu ceritanya,'' ujarnya. Ia menjadi Imam salat Jumat minggu lalu itu.
Memang sudah lama perusahaan Mesir itu masuk Korut. Saat kelompok Nonblok masih jaya: Indonesia, Mesir, India, Yugoslavia dan Korut anggota pentingnya.
Mula-mula Orascom mendirikan pabrik semen di Korut. Semen memang bidang bisnis utama. Sudah berkembang ke beberapa negara. Orascom lantas dipercaya membangun properti. Gedung baru yang mirip roket biru itu. Lantas dipercaya pula untuk joint dengan perusahaan telkom Korea Utara: Koryolink.
Saya belum tahu masa depan bentuk BUMN di Korut.
Jangan-jangan akan ikut cara Singapura. Perusahaan negara tetap eksis. Sebagai raja. Tapi swasta boleh ada. Biar bersaing.
Hanya Kim Jong-Un yang tahu. Bukankah ia dianggap rakyatnya setengah Tuhan? (dahlan iskan)