Siapa yang lebih besar? Sritex atau Duniatex?
Dua-duanya sangat besar. Sudah yang terbesar.
Dua-duanya bergerak di bidang tekstil. Juga sama-sama dari Solo.
Pun bos besarnya adalah sama-sama anak kedua. Juga sama-sama generasi kedua di keluarga masing-masing.
Sritex dikendalikan oleh Iwan, putra kedua Lukminto. Duniatex dipimpin Sumitro, putra kedua Hartono.
Dua raja tekstil ini seperti bersaing. Sejak zaman bapaknya. Diteruskan anaknya.
Seolah seperti berlomba: siapa yang akan berhasil menjadi raja diraja.
Persaingan pun sampai ke pengadilan. Saat Sritex mengadukan Duniatex. Yang dinilai mencuri hak cipta desain kainnya. Dan Sritex yang menang. Salah satu direktur Duniatex masuk penjara.
Kini Duniatex kalah lagi. Berita negatif terus berseliweran di sekitar grup Duniatex. Ada yang menulis Duniatex gagal bayar kupon obligasi. Nilai obligasinya 300 juta dolar. Sekitar Rp 4 triliun.
Ada pula yang melaporkan Duniatex gagal bayar cicilan pinjaman bank. Jumlah pinjaman banknya tertulis Rp 17 triliun.
Begitu santernya pemberitaan ini. Sampai ada yang menafsirkan Duniatex adalah pertanda awal krisis ekonomi di Indonesia.
Begitu besar gagal bayar itu. Begitu besar pinjaman itu. Dunia bank bisa terseret. Dan itu awal dari bencana.
Benar begitukah?
Mengingat salah satu anak usaha grup ini adalah perusahaan publik maka harus segera ada penjelasan.
Pertanyaan yang harus segera terjawab adalah:
a. Apakah ini masalah internal Duniatex. Misalnya gagal manajemen.
b. Apakah ini gejala umum yang sedang melanda ekonomi Indonesia. Dari pemberitaan yang saya ikuti memang masih simpang siur. Adakah ini gagal bayar utang bank atau gagal bayar kupon obligasi. Atau dua-duanya?
Kalau ini gagal bayar bunga/cicilan bank apakah masih bisa di-resceduling. Artinya, masa depan Duniatex masih bisa diselamatkan.
Kalau ini gagal bayar kupon obligasi lebih aneh lagi. Bukankah obligasi Duniatex baru dilakukan kurang dari enam bulan lalu? Bukankah dana untuk membayar kupon pertama mestinya sudah disiapkan saat obligasi cair?
Semula saya agak abai dengan kasus Duniatex.
Gagal bayar bukan hal yang aneh.
Tapi karena disebut-sebut sebagai dampak perang dagang Amerika-Tiongkok saya menjadi lebih waspada.
Kalau itu akibat perang dagang berarti lebih berbahaya. Artinya, Tiongkok tidak bisa ekspor lagi ke Amerika lalu membelokkan sasarannya ke mana-mana. Termasuk membanjiri pasar-pasar yang selama ini dipasok Indonesia.
Tapi, ada logika yang salah. Bukankah juga berarti ada pasar baru yang ditinggalkan Tiongkok?
Katakanlah ekspor Duniatex selama ini ke Eropa. Lalu Eropa dibanjiri tekstil Tiongkok. Tapi kan menjadi ada pasar baru yang besar di Amerika?
Logika yang lain adalah ini: Mengapa Sritex baik-baik saja? Bukankah mestinya Sritex juga terkena?
Saya berharap asosiasi tekstil segera memberikan penjelasan. Demikian juga pasar modal. Atau bahkan Kementerian Perindustrian.
Di awal gejala resesi dunia seperti ini kita harus ekstra waspada. Agar setiap langkah terukur dengan tepat.
Dunia usaha memerlukan informasi yang jelas. Agar ayam-ayam yang diharapkan telurnya itu tidak stres.
Saya masih melihat kasus Duniatex sebagai persoalan internal perusahaan itu sendiri. Belum sebagai gejala umum keduanya ekonomi. Belum menjadi pertanda-pertanda awal resesi Indonesia.
Saya melihat ini masih gejala biasa dalam bisnis. Misalnya ekspansi yang terlalu cepat. Atau salah investasi. Atau salah pilihan teknologi. Atau salah struktur pengelolaan keuangannya. Atau kesalahan manajemen lainnya.
Memang Duniatex melakukan investasi besar di luar tekstil: dua mal, enam hotel dan rumah sakit internasional. Nama malnya 'Hartono' (Di Jogja dan Solo). Untuk mengenang nama ayahnya. Nama RS-nya 'Indriati' (Di Solo Baru). Untuk mengenang nama ibunya.
Sedang hotelnya ikut manajemen lain: ada Marriott, Fave, Alana, Best Western.
Mungkin saja nilai investasi di properti ini terlalu besar. Atau mungkin juga tidak. Tergantung situasi bisnis di induk usahanya. Kalau usaha tekstilnya sangat maju ekspansi tersebut biasa saja. Tapi kalau ekspansi di tekstilnya pun bermasalah barulah semua itu hanya menambah beban.
Maka perlu dilihat bagaimana ekspansi di usaha pokoknya.
Di dunia tekstil Duniatex ternyata juga ekspansi besar-besaran. Kurun waktunya hampir bersamaan. Duniatex seperti lagi memikul dua batu besar.
Sekitar 10 tahun terakhir Duniatex mengembangkan pabrik tekstil luar biasa besar. Termasuk yang di luar kota Demak.
Saat itu pun kalangan tekstil terkagum-kagum. Atau terheran-heran. Atau terwaswas-waswas. Bagaimana bisa setiap tahun ekspansi besar seperti itu. Orang lain hanya bisa ekspansi tiga tahun sekali. Bahkan lima tahun sekali. Duniatex melakukannya tiap tahun.
Tentu tidak masalah. Sepanjang bank terus menggelontorkan kreditnya.
Atau adakah kesalahan pemilihan teknologi? Saya tidak ahli mesin tekstil. Tapi bisa saja teknologi yang dibeli adalah yang tidak bisa menghasilkan produk yang dikehendaki pasar. Apalagi pasar yang kian kompetitif.
Kita pernah membeli pesawat MA-16. Ini contoh kesalahan teknologi. Pesawat itu tidak bisa bersaing dengan ATR.
Serba salah. Tidak dioperasikan, sudah terlanjur dibeli. Kian dioperasikan kian bikin rugi.
Bank-lah yang tahu: apakah mesin-mesin yang dibeli secara besar-besaran itu mesin yang bisa diajak bersaing di pasar bebas. Atau sejenis MA-16 --yang membuat Merpati harus ingkar janji.
Atau jangan-jangan ini kesalahan manajemen yang lebih sepele lagi. Ketika pengendali sebuah bisnis tidak fokus lagi mengurus usahanya.
Saya sangat haus akan kejelasan itu.
Kalau sampai sebanyak 18 bank yang terseret ke pusaran Duniatex mestinya tidak berat. Katakanlah total pinjaman Rp 17 triliun. Ditanggung oleh 18 bank. Mestinya tidak terlalu mengganggu. Apalagi nilai jaminannya cukup. Tapi sekelas Bank Exim yang secara sendirian terkena Rp 3,7 triliun memang akan terasa.
Tapi yang paling merasakan akibatnya adalah pengusaha lain. Yang sedang minta kredit puluhan miliar ke bank itu.
Mereka tentu sulit mendapatkan kredit baru.
Saya masih berharap masalah Duniatex bukan masalah dunia lain. Yang mestinya gampang dijelaskan.
Kian misteri Duniatex kian banyak pocong yang menghantui dunia usaha.(Dahlan Iskan)