UMAT muslim Indonesia, khususnya warga NU (Nahdliyin), memiliki satu tujuan yang sama, yaitu beribadah pada Tuhan melalui berbagai dimensi kehidupan, termasuk pendidikan pesantren. Jauh sebelum era kolonialisme dan kemerdekaan, umat muslim telah mengabdikan hidup mereka untuk mendakwahkan Islam melalui jalur pendidikan pesantren.
Setelah era kolonialisme datang, pondok pesantren tidak sekadar mengajarkan ilmu-ilmu agama dan membangun etika sosial muslim, lebih dari itu menjadi corong perjuangan untuk meraih kemerdekaan. Kiai-kiai pesantren dan para santri menjelma pahlawan-pahlawan nasional. Perjuangan itu semakin nyata tatkala era kemerdekaan tercapai. Para kiai dan santri terjun ke ranah politik kebangsaan dan kekuasaan untuk turut serta membangun bangsa dan negara.
Sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga reformasi, komunitas pesantren ini berkecimpung dengan serius di politik kekuasaan, yang terejawantah dalam aktivisme partai politik mereka. Nahdliyin sempat mendirikan partai politik NU, berafiliasi pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sampai mendirikan partai politiknya sendiri, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sejak PKB berdiri, pondok pesantren menjadi "hulu" dan partai politik menjadi "hilir" dari seluruh bentuk aspirasi pondok pesantren.
BACA JUGA:Catatan Kritis untuk Ketum PBNU: Mendekatkan Agama pada Politik, Bukan Sebaliknya
Jika diibaratkan aliran sungai, pesantren adalah sumber mata air di pegunungan dan PKB adalah muara yang menyatukannya dengan samudera kehidupan yang lebih luas; atau ibarat pepohonan, pesantren adalah akar dan batang, sedangkan PKB adalah buah-buahan yang matang. Atau juga bisa disebut, pesantren adalah masa muda dan PKB adalah masa matang dewasa kehidupan berbangsa dan bernegara bagi warga Nahdliyin.
PKB juga sudah banyak membuktikan keberhasilan perjuangan komunitas pesantren, mulai dari meloloskan Undang-undang Pesantren, Hari Santri Nasional, bahkan mengantarkan kader Nahdliyin menjadi pemimpin negeri seperti Gus Dur sebagai presiden atau KH. Ma'ruf Amin sebagai wakil presiden. Masih banyak lagi buah manis PKB bagi warga NU, baik yang sudah terwujud maupun yang masih dalam cita-cita perjuangan. Jika PKB berhasil di Pilpres 2024 nanti, akan banyak lagi manfaat yang pesantren dapatkan dalam hubungannya dengan negara.
PKB dalam hemat penulis bahkan lebih penting dari pesantren itu sendiri. Berdasarkan pengalaman penulis mengabdi di pondok pesantren, kesimpulan semacam ini terasa sangat nyata. Sebab ada dimensi yang betul-betul berbeda antara yang bisa digarap oleh partai politik seperti PKB dan dimensi yang menjadi ranah garapan pondok pesantren. Di dalam sistem bernegara yang mengharuskan partai politik, pondok pesantren yang bukan partai mau tidak mau harus berpartai.
Melalui partai politik, pondok pesantren dapat menyalurkan segala macam aspirasi kebangsaan dan kenegaraan mereka. Penyampaian aspirasi semacam itu mustahil tercapai maksimal apabila pondok pesantren tidak memiliki kendaraan partai politik. Untuk itu pula, bagi penulis, PKB jauh lebih penting dan utama dibandingkan dengan pondok pesantren yang saya kelola dan saya mengabdi di dalamnya.
Alasan lainnya, PKB adalah satu-satunya partai politik yang lahir dari rahim pondok pesantren. Memang banyak di luar sana partai politik lain selain PKB, tetapi mereka semua bukan bayi yang dilahirkan, dirawat dan dibesarkan oleh pondok pesantren. Semua partai politik selain PKB memang memiliki visi kepedulian pada kepentingan pondok pesantren namun itu hanya subsistem dari program mereka, bukan totalitas tujuan yang digarap. Berbeda halnya dengan PKB, ia adalah wajah lain pondok pesantren yang bergerak di ranah kenegaraan dan politik kebangsaan.
Di level ini penulis meyakini betapa PKB jauh lebih penting dari pesantren saya. PKB bukan saja manifestasi dari pesantren saya, tetapi semua pondok pesantren dapat memikulkan kepentingannya kepada pundak PKB. Hal semacam ini mustahil kita pasrahkan kepada semua parpol di luar PKB. Sekalipun mungkin saja dilakukan, maka sudah pasti kepentingan pondok pesantren akan menjadi satu bagian kecil dari bagian-bagian lain yang merupakan visi misi parpol tersebut. Karena mereka lahir tidak sepenuhnya untuk pesantren.
Alasan ketiga yang bagi penulis bisa dipakai untuk memantapkan prinsip bahwa PKB jauh lebih utama dari pondok pesantren adalah adanya kaidah Ushuliyah yang dapat ditarik ke ranah politik; ma la yatimmu bihil wajib fahuwa wajib. Kewajiban yang tidak sempurna dikerjakan tanpa sesuatu tertentu maka sesuatu itu pun bernilai wajib. Di dalam konteks bernegara di era kontemporer seperti sekarang, pengabdian pondok pesantren kepada bangsa dan negara tidak sempurna tanpa partai politik, dan karenanya berpartai pun menjadi wajib. Itu mengapa ber-PKB adalah kewajiban bagi komunitas pesantren.
Untuk mewujudkan semua cita-cita mulia pondok pesantren maka ber-PKB menjadi wajib. Sebab, kita tidak mungkin menitipkan kewajiban kita kepada wasilah-wasilah lain yang tidak sepenuhnya merepresentasikan pondok pesantren, yaitu parpol lain selain PKB, dengan alasan yang disebut sebelumnya. Dengan kata lain, hari ini PKB merupakan satu-satunya wasilah bagi pondok pesantren dalam mengabdi kepada bangsa dan negara. Sedangkan parpol lain juga wasilah namun tidak sesempurna PKB.
Alhasil, ijtihad jama'iy kita di masa-masa mendatang adalah memantapkan langkah untuk ber-PKB, bukan semata-mata untuk membesarkan PKB sebagai kendaraan politik, tetapi lebih untuk mewujudkan semua cita-cita pondok pesantren, yang tidak maksimal bila dipasrahkan kepada parpol lain selain PKB. Melalui PKB, Pondok Pesantren telah menentukan wasilah paling tepat dibanding wasilah-wasilah lain yang hanya akan menjadi bayang-bayang abstrak dalam mengabdi pada pesantren secara totalitas. Wallahu a'lam bis shawab. (*)
*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.