Sebagai bangsa kita berterima kasih kepada dua pasien pertama virus Corona di Indonesia itu. Seorang ibu 64 tahun dan putrinyi berusia 31 tahun itu.
Seperti diungkap dalam Mata Najwa maupun Kompas.com keduanyi-lah yang berinisiatif: segera memeriksakan diri ke rumah sakit. Yakni setelah badan mereka demam. Dan setelah mendapat info penting dari teman mereka: bahwa orang Jepang yang sama-sama hadir di suatu acara di Jakarta itu jadi berita di Malaysia. Teman Jepang itu positif terkena virus Corona.
Terima kasih pula untuk RS Mitra Keluarga di Jalan Margonda Raya Kota Depok. Yang kemudian mengirimkan dua pasien itu ke RS yang sudah disiapkan khusus untuk menangani virus Corona: RS Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Sunter, Jakarta Utara.
Tentu kita juga berterima kasih kepada pemerintah yang mengaku responsif atas info dari Malaysia itu. Lalu menelusuri ke mana saja wanita Jepang itu selama di Jakarta. Juga menelusuri wanita Jepang itu bertemu siapa saja di Jakarta. Dari penelusuran itu ditemukanlah dua wanita tersebut.
Inisiatif-inisiatif itu begitu pentingnya. Tanpa inisiatif memeriksakan diri ke rumah sakit itu tidak tahu lagi betapa lebih banyak yang tertular.
Dengan inisiatif masuk rumah sakit itu keduanya telah terhindar dari sebutan ”super spreader” di Indonesia.
Dengan inisiatif itu pemerintah segera bisa menangani, melokalisasi, dan mengatasi penyebaran virus Corona di Indonesia.
Kecepatan penanganan adalah kunci utama mengatasi virus Corona: baik untuk yang tertular maupun untuk masyarakat luas.
Saya yakin kedua wanita tersebut akan tersembuhkan. Mereka tidak sampai terlambat masuk rumah sakit.
Kuncinya: asal cepat tertangani kans penderita virus Corona untuk sembuh sangat tinggi.
Saya melihat kepanikan akan virus ini melebihi seharusnya. Bahwa di Wuhan korbannya sangat besar itu semata-mata karena telat penanganannya.
Mengapa telat?
Itu karena ada faktor X --Hari Raya Imlek.
Di awal berkembangnya, virus di sana pas sekali dengan persiapan datangnya liburan besar Hari Raya Imlek.
Sejak seminggu sebelumnya, apa pun tidak penting di sana --fokus mereka hanya merayakan Imlek. Di hari seperti itu mobilisasi manusia terjadi dengan sangat besarnya.
Virus pun tidak terkendali.
Kita di Indonesia tidak sedang menghadapi liburan apa pun. Hari Raya Idul Fitri masih jauh. Faktor X itu tidak ada di sini.
Harusnya kita bisa lebih berhasil mengendalikan virus itu.
Di Tiongkok sendiri sudah 10 hari terakhir sudah sangat reda. Jumlah penderita baru virus Corona di Tiongkok turun drastis. Sedang yang sembuh naik drastis.
Di Provinsi Fujian --orang Tionghoa Indonesia umumnya punya leluhur di sana-- sudah lima hari terakhir tidak ada penderita baru. Sudah tidak ada lagi yang tertular. Sudah nol.
Dari 296 yang terkena virus di Fujian sudah 270 orang yang sembuh. Hanya satu orang yang meninggal. Hitung sendiri tinggal berapa yang masih dalam proses penyembuhan.
Di Provinsi Guangdong --asal leluhur terbanyak kedua orang Tionghoa Indonesia-- juga sama: sudah NOL penderita baru.
Dari 1.350 yang tertular di Guangdong sudah 1.159 yang sembuh. Yang meninggal 7 orang.
Di Provinsi Jiangxi --tempat saya dulu sekolah Mandarin-- mirip sekali: dari 935 yang terkena sudah 901 yang sembuh. Yang meninggal 1 orang.
Setiap hari saya menerima laporan perkembangan virus Corona di Tiongkok. Rinci. Sampai per-provinsi.
Lima hari terakhir isi di daftar itu sudah lebih banyak NOL-nya.
Tinggal satu provinsi yang masih agak jauh dari NOL. Itu pun sudah turun drastis. Yakni di provinsi Hubei yang beribu kota di Wuhan.
Dari 80.000 penderita di Tiongkok yang 70.000 ada di provinsi Hubei. Dari 3.000 yang meninggal di seluruh Tiongkok, 2.700 dari Hubei. Tapi yang sudah bisa sembuh juga besar --sudah mencapai 40.000 orang.
Isolasi total atas Provinsi Hubei boleh dikata berhasil dengan predikat sukses besar.
Itulah pentingnya isolasi.
Tentu yang diisolasi sangat menderita --kadang merasa kok selama diisolasi tidak diberi obat. Lalu merasa kok di RS tidak diapa-apakan.
Teoritis, pengobatan untuk penderita virus Corona datang dari kekebalan di diri orang itu sendiri. Begitu seseorang terkena virus sistem di badannya bereaksi. Lalu melahirkan anti virus. Perlu 14 hari bagi badan untuk merespon datangnya virus itu dan menyerangnya.
Dalam proses kelahiran antibody itulah diperlukan kondisi tubuh yang sehat. Tubuh perlu banyak vitamin --misalnya vitamin C dan E. Kalau perlu pasien diinfus dengan cairan yang menguatkan tubuh itu.
Memang belum ada obat anti virus Corona. Yang sudah ditemukan adalah rumus obatnya. Alias: sudah ditemukan tapi masih di tingkat laboratorium. Untuk itu masih harus dilakukan berbagai uji coba --terakhir nanti uji coba klinis. Semua itu bisa memakan waktu 4 bulan --paling cepat.
Tiongkok sudah dibilang bisa mengatasi berkembangnya virus Corona.
Yang mengkhawatirkan justru Korsel, Italia, dan Iran. Korsel karena ada super spreader (Baca DI’s Way: Gereja Corona). Italia karena telat penanganan dini. Iran karena tipikal Masjid Qom --penuh sesak dan berjejal, terutama di area makam Fatima Masumeh. Saya pernah berada di masjid itu. Termasuk berdesakan di makam itu. Saya bisa membayangkan kecepatan virus tersebar di situ.
Karena itu tepat sekali Arab Saudi membatasi izin umroh. Agar tidak terulang apa yang terjadi di Kota Qom.
Tempat-tempat ibadah memang akan menjadi tantangan tersendiri dalam mengisolasi virus Corona. Ada unsur sensitif di tempat ibadah.
Mestinya seminggu lagi sudah ada berita baik dari dua orang pertama penderita virus Corona kita. Mereka akan sembuh segera --seperti doa kita. (dahlan iskan)