Siapa ya yang harus diam-diam bersyukur ada wabah Corona? Sehingga harga BBM tidak segera turun pun tidak ada yang ribut?
Pun ketika harga gula naik tidak ada yang mempersoalkan. Demikian juga ketika beberapa harga lainnya ikut melejit: oke-oke saja.
Bahkan ketika iuran BPJS tidak diturunkan juga biasa-biasa saja --padahal Mahkamah Agung sudah memerintahkan pembatalan kenaikan itu.
Corona telah membuat ibu-ibu kita lebih bersabar --toh sulit ke pasar. Virus ini telah membuat mahasiswa kian adem --gak mungkin bisa demo. Dan Covid-19 ini ternyata jadi penyebar totaliter paling efektif: praktis praktek-praktek demokrasi bisa diabaikan sampai jakunnya.
Maka apa boleh buat: baiknya kita tunggu saja datangnya belas kasihan. Terserah saja kapan harga BBM akan diturunkan. Kita serahkan sepenuhnya kepada kebaikan hati yang punya wewenang menurunkannya.
Demikian juga harga-harga kebutuhan dapur. Kita relakan naik ke atas langit-langit sekali pun. Kita harus mafhum se mafhum mafhumnya: Corona telah menyulitkan koordinasi.
Kita adalah bangsa toleran. Yang tidak toleran bisa dianggap ekstrem. Dan tidak Pancasialis.
Kita harus toleran bahwa Pertamina itu bukan pedagang minyak murni. Yang kalau harga kulakannya turun, harga jualnya bisa langsung turun. Yang kalau harga minyak mentah dunia kini tinggal 20 dolar/barel, harga bensin bisa langsung diturunkan menjadi sekitar Rp 5.000/liter.
Kita harus memahami bahwa Pertamina itu juga memiliki kilang sendiri dan sumur minyak sendiri.
Kilang itu memerlukan biaya operasi. Sumur minyak itu harus dijaga jangan sampai mati.
Semua itu perlu biaya. Kita lah yang bisa jadi donaturnya.
Itulah sebabnya di Amerika minyak dijual dengan harga serendah apa pun --asal ada yang mau beli. Kalau tidak ada yang membeli minyak itu hanya memenuhi tangki. Kalau semua tangki sudah penuh, bagaimana?
Itulah persoalannya. Kalau tidak ada yang membeli minyak itu akan meluber ke mana-mana. Mencemari bumi manusia.
Sumur minyaknya sendiri akan terus mengalirkan minyaknya ke tangki. Tidak bisa ditutup. Kalau krannya diputer mati, kran itu akan jebol --kena tekanan.
Jalan satu-satunya untuk menutup sumur itu: diluluhi semen khusus. Sampai dasar sumurnya di perut bumi. Dibuat mati.
Lalu sumur itu RIP selama-lamanya.
Kelak, untuk menghidupkan kembali mahal sekali --sama dengan biaya menggali sumur baru.
Maka, kalau Covid-19 ini diperpanjang sampai satu tahun lagi, bisa-bisa orang di Amerika mendapat bensin gratis. Bahkan yang masih mau pakai bensin bisa mendapat bonus durian super tembaga.
Mematikan sumur itu pun perlu biaya. Kan lebih baik biarlah terus mengalir --dengan harapan masih ada yang mau membeli.
Kilang minyak pun harus jalan terus. Kalau dimatikan biaya mematikannya juga besar. Dan itu bisa membuat kilangnya almarhum.
Jadi Pertamina harus tetap mengoperasikan sumur-sumurnya. Dengan biaya dari Anda semua. Pertamina juga harus tetap menjalankan kilang-kilangnya. Dengan biaya dari Anda semua.
Alhamdulillah.
Di bulan ramadan ini kita bisa lebih banyak bersedekah. Sedekah terbesar kita ya ke Pertamina itu.
Alhamdulillah, kita bisa menjadi orang sabar. Bukankah di bulan Ramadan ini kita harus taat pada bunyi kitab suci Al Quran –”orang sabar itu kekasih Tuhan”.
Kita justru harus iba kepada Pertamina. Pendapatannya yang besar itu tidak bisa lebih besar lagi. Kasihan. Itu akibat yang beli bensin tidak sebanyak sebelum Corona. Turun hampir 50 persen --seperti dikatakan direksinya.
Saya ingat kiat Pak Jusuf Kalla dulu. Ketika harus menaikkan harga BBM sangat tinggi. Itu akibat harga minyak mentah melonjak sampai tidak masuk akal: di atas 100 dolar/barel.
Kiat beliau adalah: naikkan BBM sehari sebelum bulan Ramadan. Agar besoknya tidak ada demo besar.
Maka jangan harap harga BBM akan turun selama masih ada bulan Ramadan. Bahkan, jangan-jangan, selama masih ada Corona. (Dahlan Iskan)