Obituari terbaik untuk almarhum Didi Kempot adalah yang dibuat Jaya Suprana. Bentuknya: permainan piano --alat musik yang paling dikuasainya.
Di depan piano milik Ayla itu Pak Jaya memainkan lagu Didi Kempot yang paling top saat ini: Pamer Bojo. Ayla merekamnya diam-diam --lihatlah sendiri hasilnya.
Didi Kempot adalah raja campursari Indonesia --terbaik di dunia. Jaya Suprana adalah raja piano Indonesia --yang sering melanglang buana.
Jadinya unik: lagu campursari yang milik rakyat itu dimainkan di piano yang sangat elite.
Itu karena Pak Jaya --bos Jamu Jago dan Museum Rekor Indonesia-- sangat mengagumi Didi Kempot - -di samping tetap mengagumi pemusik klasik Beethoven dan sekelasnya.
Saya sering mengikuti tulisan Pak Jaya. Yang belakangan sangat produktif itu. Tidak hanya sekali Pak Jaya mengulas musik Didi Kempot. Berkali-kali. Pertanda Pak Jaya sangat mengapresiasi raja campursari itu.
Pernah Pak Jaya menulis khusus mengenai lagu Pamer Bojo. Ia bahas syairnya yang menyayat-nyayat hati. ”Begitu dalam makna syair lagu itu,” tulisnya.
Sampai membuat Pak Jaya mbrebes mili.
Maka begitu mendengar Didi Kempot meninggal dunia Pak Jaya syok. ”Saya lebih pantas meninggal lebih dulu,” katanya pada saya.
Setelah kesedihannya reda, Pak Jaya menuju piano. Di rumah Ayla di Jakarta itu memang ada sebuah piano besar. Itu piano kuno. ”Type-nya pun saya sudah lupa. Sudah terhapus,” ujar Pak Jaya merendah. ”Piano ini juga tidak pernah distem ulang. Biarlah. Biar nadanya lebih merakyat,” guraunya.
Saya putar tiga kali Pamer Bojo versi Pak Jaya itu. Pikiran saya melayang ke mana-mana: ke panggung-panggung bersama sang raja di kala belum jadi maharaja seperti sekarang. Juga ke Prapatan Sleko --satu lagunya tentang sebuah perempatan terkenal di kota Madiun. Yang saya (bersama istri) diminta sebagai bintang video clip-nya.
Kenangan saya juga ke pedesaan di pelosok Ngawi. Khususnya ke Desa Majasem. Yakni sebuah desa di lereng timur Gunung Lawu. Di Kecamatan Kendal yang terpencil.
Saya sering ke desa-desa sekitar Majasem. Saya punya keluarga di dekat situ. Di desa Majasem inilah Didi Kempot dimakamkan kemarin sore.
Apa hubungan Didi Kempot dengan Desa Majasem?
Itulah desa istrinya: Hj Saputri. Yang memberi pasangan ini dua anak --dua-duanya meninggal saat masih kecil. Lalu mengambil anak angkat dari lingkungan keluarga sendiri. Anak ini pernah jadi korban bully habis-habisan. Yang akhirnya dijelaskan bahwa ia memang anak angkat --tapi sudah dianggap anak sendiri.
Didi Kempot bertemu sang istri di Jakarta. Waktu itu Didi masih sangat sulit. Saputri anak orang berpunya --untuk ukuran desa.
Setelah nikah, pasangan ini tinggal di Majasem. Sang istri tidak pernah mau diajak pindah ke Solo, ke kampung Didi. Maka Didi Kempot-lah yang pulang-pergi Solo-Majasem.
Ketika belakangan Didi Kempot sudah laris, rumah sang istri itu dipugar. Menjadi rumah yang termegah di desa itu. Adanya jalan tol Ngawi-Solo membuat jarak Majasem ke Solo tinggal 1 jam --dengan mobil.
Mendengar Pamer Bojo versi piano itu saya juga ingat Pamer Bojo versi Tiara –runner-up Indonesian Idol RCTI tahun ini. Di grand final Tiara menyanyikan Pamer Bojo --dipopkan. Lihatlah Pamer Bojo Tiara di YouTube: yang menonton 26 juta orang!
Tentu sudah terlalu banyak yang mengulas kehebatan lagu-lagu Didi Kempot. Tapi saya tetap tidak bisa menjawab: mengapa sejak dua tahun lalu Didi Kempot begitu diidolakan di kampus-kampus. Para mahasiswa --di mana pun-- begitu gilanya ke lagu-lagu Didi Kempot. Yang semua berideologi patah hati, hancur batin, dan siksa perasaan. Begitu banyaknyakah mahasiswa yang patah hati --lalu merasa terwakili oleh lagu seperti Pamer Bojo?
Saya ingat pertunjukan 4 bulan lalu di Surabaya. Didi Kempot diundang oleh Unesa (d/h IKIP Surabaya). Saya diundang juga untuk hadir. Begitu gila para mahasiswa di konser itu. Mereka tumplek bernyanyi bersama, berjingkrat, berjirolupatmonemtuwolu dan bertakgintakgintak bersama sang raja.
Sebelum acara dimulai saya diminta ke balik panggung. Baku kangen. Saya pun sempat saling cipika-cipiki. Demikian juga istri saya. Itulah pertemuan terakhir saya dengan sang raja.
Saya juga kaget Didi Kempot begitu cepat meninggal dunia. Di usianya yang baru 53 tahun.
Tapi lagu-lagunya akan tetap abadi. Stasiun Balapan Solo, Cidro, Prapatan Sleko, Perawan Kalimantan, dan terutama Pamer Bojo tidak akan pernah terlupakan.
Saya pun, setiap pagi, masih akan terus senam-joget lagu Pamer Bojo. Tentu dengan gerakan yang asyik.
Maafkan, Didi. Saya tidak bisa main piano. Saya hanya akan terus mengabadikanmu di senamku.(Dahlan Iskan)