Tiba-tiba akan ada pemilihan umum di Singapura. Juli bulan depan. Alasannya: di masa sulit ini --akibat pandemi virus seperti ini-- perlu jaminan kestabilan politik. Terutama bagi para investor.
Alasan itu bisa sungguh-sungguh. Bisa juga dicari-cari. Yang jelas di tengah wabah seperti ini siapa yang mau mikir politik. Rasanya rakyat masa bodo dengan politik. Rakyat lagi punya kesibukan sendiri: menjaga diri masing-masing.
Kalau pemerintah mengadakan pemilu di masa seperti ini pasti ada tujuannya: agar tidak ada lawan yang muncul.
Pun kalau ada oposisi akan sulit memasarkan diri. Kan pergerakan manusia lagi dibatasi.
Partai penguasa Singapura pintar memanfaatkan keadaan ini. Kekuasaan harus diperpanjang --sepanjang-panjangnya. Kan ”baru” 60 tahun. Bisa tambah 10 tahun lagi. Atau berapa pun.
Pandemi Covid-19 membuat pemerintah Singapura sangat pede --di bidang politik. Ancaman dari dua adik perdana menteri boleh dikata tenggelam oleh pandemi. Tiga bersaudara keturunan Lee Kuan Yew itu memang belum rukun. Tapi Covid-19 mendinginkan perang keluarga ini.
Dua hari lalu Perdana Menteri 3G Singapura, Lee Hsien Loong, tampil di TV. Anak sulung Lee Kuan Yew itu menguraikan perlunya stabilitas politik itu. Ia bilang betapa sulitnya ekonomi akibat pandemi ini. Berarti usaha untuk membangkitkannya juga harus sangat khusus.
Maka perlu dikaji apa saja yang diperlukan untuk membangkitkan ekonomi Singapura itu. Salah satunya: mengharap investasi yang lebih besar. Maka iklim investasi harus baik.
Hampir dapat dipastikan partai penguasa ini akan menang telak lagi.
Roadmap menuju Pemilu dadakan itu harus sudah dimulai dua-tiga hari lagi. Pekerjaan pertama: partai menugaskan Presiden Singapura untuk membubarkan parlemen. Agar pemilu bisa segera digelar.
Tentu tidak akan ada kampanye. Dengan alasan pandemi. Tapi pemerintah tetap bisa kampanye secara terselubung. Melalui keterangan-keterangan pemerintah seperti yang sudah terjadi itu.
Cara pemungutan suara pun sudah diatur. Jam nyoblos dibagi-bagi. Orang-orang tua harus nyoblos di pagi hari. Jumlah TPS juga akan ditambah. Agar prinsip jaga jarak bisa terpenuhi --tidak terjadi antrean.
Yang perlu dicatat: Lee Hsien Loong tetap pada pendiriannya. Hasil pemilu ini akan membuat ia meletakkan jabatan. Ia akan menyerahkan kepemimpinan ke 4G: Heng Swee Keat. Yang sekarang menjabat Wakil PM.
Sudah setahun lamanya nama itu dimasukkan test the water. Sejak setahun lalu orang Singapura tahu: itulah calon pemimpin baru mereka. Bukan dari keluarga Lee lagi.
Ternyata tes itu seperti tidak ada gunanya. Pandemi Covid-19 membuat rakyat tidak punya waktu mempersoalkan calon itu. Rakyat sudah sangat lelah memikirkan nasibnya sendiri.
Lee Hsien Loong --yang menjadi perdana menteri sejak 2004-- tentu akan punya jabatan baru: mungkin menteri senior.
Sayangnya masa jabatan sepanjang 16 tahun itu harus berakhir di masa pandemi. Bahkan sebelum wabah pun sudah ditandai dengan sengketa terbuka dengan kedua adiknya.
Rakyat Singapura juga tidak sempat menilai: apakah pemerintahannya gagal atau berhasil menangani pandemi.
Dari segi jumlah yang mati boleh dibilang berhasil. Tapi dari jumlah yang tertular mestinya memalukan.
Kok Singapura kalah hebat dengan Indonesia. Penduduknya hanya 5 juta. Yang terkena Covid-19 mencapai 36.000 lebih. Padahal Indonesia yang berpenduduk 250 juta saja penderitanya kurang dari 25.000.
Tingginya penderita Covid-19 di Singapura itu sekaligus menyingkap borok: di negara berpenduduk 5 juta itu punya tenaga kerja asingnya 1,2 juta. Yang 350.000 di antaranya buruh kasar. Dari Bangladesh, India, atau Myanmar. Mereka inilah yang terbanyak tertular. Akibat kondisi asrama buruh yang tidak sehat.
Tentu Singapura tidak perlu cari pinjaman. Cadangan devisanya mencapai satu triliun dolar --10 kali lipat cadangan devisa kita.
Cadangan itulah yang dipakai untuk mengatasi wabah Covid-19. Cukup dengan hanya mengambil 10 persennya.
Bagi Singapura, New Normal adalah New Leader. (Dahlan Iskan)