Indonesia sudah bisa mendikte harga nikel dunia –lewat Xiang Guangda. Minggu lalu harga nikel dunia turun sampai 5 persen. Itu karena Tsingshan Holding Group –yang memiliki pabrik nikel di Morowali, Sulawesi Tenggara– membuat pengumuman: akan memproduksi nikel jenis tertentu yang bisa untuk bahan baku baterai mobil listrik.
Dunia pun gempar. Indonesia hebat. Para produsen mobil listrik menjadi tenang.
Selama ini mereka khawatir. Tidak akan cukup nikel untuk baterai mobil listrik. Produksi mobil listrik sudah mencapai tipping point. Sampai Bos Tesla Elon Musk menyerukan agar negara yang punya cadangan nikel mau menambangnya besar-besaran.
Akibat kekhawatiran itu, harga nikel dunia terus naik. Sampai Mr Xiang Guangda membuat kejutan awal bulan tadi.
Bulan lalu harga nikel masih USD 14,070 per ton. Sekarang tinggal USD 11,055. Tapi itu masih lebih tinggi dibanding harga tahun 2017 yang USD 10.200.
Mr Xiang Guangda kini sudah ikut menentukan pasar nikel dunia. Lewat giga pabriknya yang di Indonesia. Tsingshan Holding sendiri kini sudah menjadi salah satu dari 500 perusahaan terbesar di dunia. Perusahaan Mr Xiang itu di nomor 361 di ranking Fortune 500. Dengan kekayaan (2018) RMB 226.5 miliar.
Mula-mula saya tidak tahu apa arti Tsingshan. Kok Mr Xiang mendirikan perusahaan dengan nama Tsingshan.
Yang saya tahu itu bukan nama Mandarin. Lalu saya cari tahu apa nama Mandarin perusahaan Mr Xiang itu. Ketemu: ??. Dalam huruf latin mestinya ditulis Qingshan. Artinya: bukit yang tenang. Tapi ejaan itu menjadi Tsingshan, kemungkinan ikut ejaan Taiwan.
Di Tiongkok nama lengkap perusahaan itu: ??????. Artinya: Grup Holding Gunung Tenang.
Mengapa ejaan latinnya ikut Taiwan itu karena letak kampung halaman Mr Xiang memang di seberang pulau Taiwan. Yakni di Kabupaten Wenzhou, masuk provinsi Zhejiang. Atau itu ikut ejaan lama sebelum ada standardisasi ejaan baru di Tiongkok.
Mr Xiang awalnya memang pengusaha kecil di Kabupaten Wenzhou. Ia menjadi pemasok salah satu unsur kecil untuk pintu mobil. Yakni bagian yang terbuat dari stainless steel.
Kabupaten Wenzhou memang pusat industri kecil di Tiongkok –seperti Sidoarjo dulu. Pun sejak sebelum ekonomi Tiongkok dibuka, ekonomi Wenzhou sudah berkembang.
Ketika di seluruh Tiongkok sibuk dengan politik dan revolusi (1965-1975) penduduk Wenzhou tetap asyik berdagang. Mereka sampai menciptakan infrastruktur keuangan sendiri –di luar sistem bank. Itulah sistem kredit bawah tanah –di Indonesia disebut rentenir. Di Wenzhou rentenir tumbuh sangat subur. Pun sampai sekarang. Ketika sistem perbankan di Tiongkok sudah demikian majunya sistem keuangan bawah tanah itu masih subur di sana.
Saya beberapa kali ke Wenzhou. Di Tiongkok orang memberi gelar Wenzhou itu Yahudi-nya Tiongkok. Dari Kabupaten ini lahir pengusaha-pengusaha ulet dan tangguh.
Salah satunya Mr Xiang Guangda itu. Yang nekat membangun giga pabrik nikel di Morowali.
Ketika masih menjadi pengusaha kecil –pemasok bagian pintu mobil– Mr Xiang bisa menjaga kepercayaan. Ketika industri mobil di Tiongkok meroket Mr Xiang seperti menunggang air pasang. Kebutuhan bagian pintu mobil meningkat.
Mr Xiang lantas membangun pabrik stainless steel kecil-kecilan –di Wenzhou. Di sinilah Mr Xiang belajar banyak membuat industri stainless steel yang efisien. Orang di Tiongkok terheran-heran: kok bisa ada pabrik stainless steel yang bisa jual produk sangat murah. Maka muncul guyon di sana: "Kenapa heran? Kan ia orang Wenzhou?"
Berkat Mr Xiang rakyat biasa pun bisa membeli stainless steel untuk pagar rumah.
Ilmu teknik industri ala Wenzhou itulah yang membuat dirinya yakin: bisa mengalahkan pesaing di seluruh dunia. Termasuk pesaing dari Tiongkok sendiri.
Salah satu kuncinya: pabriknya harus di dekat bahan baku. Itulah logika yang membawa Mr Xiang ke pelosok Morowali –siapa sih pengusaha kita yang mau ke sana?
Maka tanggal 2 Oktober 2013, terjadi penandatanganan di Shanghai. Antara perusahaan Mr Xiang dengan grup Bintang Delapan dari Indonesia. Presiden SBY menyaksikannya. Demikian juga Presiden XI Jinping.
Di situlah diputuskan untuk membangun Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Luasnya: 47.000 hektare. Penuh dengan nikel di bawahnya.
Di masa Presiden Jokowi Tsingshan akhirnya membangun mega pabrik itu. Luasnya 2.000 hektare. Lengkap sekali. Termasuk pelabuhan raksasanya.
Yang membuatnya terkenal adalah: Mr Xiang menerapkan perhitungan biaya rendah sejak dari perencanaan. Itulah untungnya membangun pabrik dari nol. Tidak ada tambal-sulam. Termasuk perencanaan furnish-nya.
Inovasi terbesar dan terbaru yang dilakukan Mr Xiang di Morowali adalah: penggunaan rotary kiln furnace. Untuk memproses nikel yang masih bercampur tanah. Bahan baku itu dimasukkan smelter, lalu dihubungkan dengan furnace untuk stainless steel secara tersambung melalui continuous hot flow.
Dengan gaya Mr Xiang ini, biaya produksi stainless steel dari Morowali bahkan lebih rendah dari biaya di Tiongkok –yang sudah terkenal murah itu.
Saya pun semula mengira Mr Xiang hanya fokus di stainless steel. Ternyata belum lama ini ia mengeluarkan pernyataan resmi. Mengumumkannya di London pula. Bahwa Tsingshan juga akan memproduksi nikel untuk bahan baku baterai.
Berarti saya harus meralat tulisan saya di Disway bulan lalu. Bahwa mesin-mesin smelter yang di Morowali tidak akan bisa untuk memproduksi bahan baku baterai. Ternyata bisa. Dengan upaya tertentu. Tsingshan memang harus investasi lagi untuk membuat bahan baku baterai itu.
Dan memang Tsingshan akan investasi sampai total USD 15 miliar. Itu sama dengan Rp 200 triliun.
Mana tahan.
Di zaman Presiden Jokowi semua itu terwujud. Morowali pun berubah total. Dari ''siapa yang sudi ke sana'' menjadi ''bintang dunia''. Sampai ada yang membandingkannya di medsos: apa yang diperbuat Amerika di Papua selama 50 tahun, sudah kalah dengan yang dilakukan Mr Xiang di Morowali dalam lima tahun.
Berlebihan? (Dahlan Iskan)