Utang Revaluasi

Kamis 25-02-2021,04:00 WIB
Oleh: Dahlan Iskan

DRAMA kecil soal kekayaan ini sempat jadi polemik di level atas. Saya bersyukur, petani porang tidak ikut menanggapi. Mereka tetap fokus: bagaimana mengolah tanah.

"Orang terkaya Indonesia itu Pak Isa," ujar Menkeu Sri Mulyani. Pekan lalu. Di acara perkenalan 1.500 pegawai baru kementerian keuangan. Sempat ada yang kaget: jadi, yang terkaya, bukan lagi Budi Hartono –pemilik bank BCA dan rokok Djarum?

Kekayaan Budi Hartono sebesar Rp 297 triliun. Atau sekitar USD 22 miliar. Terbesar berasal dari kekayaannya di Bank BCA.

Sedang kekayaan Isa mencapai Rp 10.500 triliun.

Nama lengkap Isa adalah Isa Rachmatarwata. Ia orang  Jatim. Lahir di Jombang. Umurnya 54 tahun.

Isa adalah alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan ilmu pasti dan alam. Lalu ke Kanada. Ke University of Waterloo. Di situlah Isa meraih gelar master dalam ilmu matematika.

Maka urusan menghitung angka sampai Rp 10.000 triliun tidak masalah baginya. Pun kalau harus menghitung utang negara yang kini sampai Rp 6.000 triliun.

Tentu, Bu Sri, dalam hal kekayaan Isa itu, guyon. Tapi berhasil. Bu Sri bisa menyadarkan orang bahwa kita itu sekarang kaya. Negara kita sudah punya kekayaan Rp 10.500 triliun.

Kekayaan itulah yang dikelola dirjen kekayaan negara, di bawah kementerian keuangan. Yang menjabat dirjennya adalah orang Jombang tadi.

Kelihatannya Bu Sri perlu sersan –serius tapi santai– agar orang tenang: jangan risau dengan utang negara yang terus meningkat itu. Kita ini sudah kaya.

Amerika saja yang kekayaannya ''hanya'' USD 4  triliun, berani utang sampai USD 27 triliun. Toh baik-baik saja. Masih juga berani terus berutang.

Sedang kita, dengan kekayaan Rp 10.500 triliun, utang kita baru Rp 6.000 triliun.

Pak Harto dulu juga begitu. Ketika presiden kedua Indonesia itu dikritik diam-diam: Indonesia terlalu banyak punya utang luar negeri. Pak Harto bilang kita tidak perlu khawatir. Kita punya banyak BUMN. Anak cucu tidak perlu bingung. Kalau kepepet-pepetnya BUMN itu bisa kita jual. Untuk membayar utang itu.

Bukan itu yang dikhawatirkan ahli seperti Anthony Budiawan. Ekonom dari grup Kwik Kian Gie itu mempersoalkan untuk apa kekayaan negara dibesar-besarkan –maksudnya dibuat besar lewat revaluasi aset negara.

Aset negara itu, tahun 2015 lalu, ketika Pak Jokowi mulai menjadi presiden, baru Rp 5.500 triliun. Tahun lalu, tiba-tiba menjadi Rp 10.500 triliun.

Setelah ditelusuri, kenaikan kekayaan itu ternyata dari revaluasi aset. Khususnya tanah. Jumlah tanahnya tetap, tapi harga tanah itu disesuaikan menjadi harga baru.

Bagi BUMN revaluasi aset itu terjadi tahun 2015 sampai 2020. Juga pernah terjadi di zaman Dr Rizal Ramli menjadi menko Perekonomian. Tujuannya jelas: untuk meningkatkan leverage. Agar BUMN bisa mencari pinjaman lebih banyak lagi. Agunannya cukup besar.

Itulah yang dalam teori ekonominya Bu Sri Mulyani dianggap sebagai orang cerdas: untuk menjadi kaya tidak perlu orangnya yang bekerja. Biarlah aset yang bekerja.

Seperti Amerika.

Anthony, ekonom yang mendapat alumnus Amsterdam itu, mempertanyakan: utang negara kan tidak terkait dengan aset. Untuk apa direvaluasi?

Di sini kelihatannya memang ada beda pendapat. Dr Misbakhun misalnya. Anggota komisi keuangan di DPR ini mengatakan, aset negara harus terus direvaluasi. Agar cukup untuk menjadi underlying utang negara.

Utang negara perlu diberi underlying aset negara?

"Ya, khususnya utang Sukuk dan dari lembaga syariah," ujar Misbakhun.

Menurut Anthony utang negara harusnya tidak perlu underlying. Negara pasti mampu bayar utang. Ada jalan gelap: cetak uang.

Masalahnya, kata Anthony, negara tidak akan pernah mampu bayar utang. Kalau kebijakan pemerintah terus seperti ini. Biar pun ada revaluasi aset. Suatu saat utang kita akan lebih besar dari aset.

Amerika, katanya, tidak peduli dengan revaluasi aset. Pun ketika utang Amerika sudah berlipat-lipat dari nilai asetnya. Revaluasi seperti itu tidak boleh. Selama pemerintahan SBY juga dilarang lakukan revaluasi aset.

"Untuk negara, leverage utang tidak terkait dengan aset," ujar Anthony. "Tetapi harus lebih memperhatikan rasio terhadap PDB," tambahnya. Yakni rasio utang vs PDB, penerimaan pajak vs PDB, beban bunga vs PDB, dan seterusnya.

Dan lagi, kata Anthony, utang negara itu belum termasuk utang BUMN. Untuk apa jumlah kekayaan negara mengikutkan hasil revaluasi aset BUMN.

Biarlah para ahli yang menyelesaikan soal ini. Kita-kita lebih baik terus bekerja, apa pun yang bisa kerjakan. Biarlah petani porang tetap mewujudkan cita-cita menyejahterakan petani lewat porang.

Biarlah Pak Isa tetap menjadi orang terkaya di Indonesia. Sesekali perlu juga orang Jombang mengalahkan orang Kudus. (Dahlan Iskan)

---

Tags :
Kategori :

Terkait