Ketika saya anjurkan Direksi Garuda Indonesia ke PKPU saja (Disway: Garuda Masker Lima) saya punya maksud ganda: sekalian itu sebagai senjata memperkuat posisi kita. Terutama dalam menghadapi perusahaan yang menyewakan pesawat (lessor) ke Garuda.
Saya tahu Garuda sedang bekerja keras mengajak lessor untuk berunding. Agar sewa pesawat yang mahal itu bisa turun. Pun cara pembayarannya bisa lebih ringan.
Tentu lessor juga orang pinter. Tidak mudah mengajak mereka membicarakan kembali kontrak yang sudah lama disetujui.
Tapi keadaan lagi babak belur. Pendapatan Garuda turun sampai 90 persen. Perusahaan mana pun tidak kuat bertahan dengan pendapatan tinggal 10 persen.
Bisa juga lessor terlihat seperti kooperatif. Seolah mau diajak berunding. Tapi mereka terus mengulur waktu. Apalagi lessornya sampai 30 perusahaan. Mengajak berunding bersama pasti sulit. Bikin jadwal rapat saja pasti tidak mudah.
Dengan maju ke PKPU, mereka tidak bisa lagi olor waktu. Mereka hanya punya waktu 3 bulan untuk duduk di meja perundingan. Kalau mereka tidak bisa memenuhi keinginan kita pengadilanlah yang akan memutuskan.
Dari pengalaman yang ada, pengadilan akan membuat putusan yang memihak perusahaan: perusahaan harus jalan terus. Utang-utang dibayar dengan skema baru. Pengadilan akan melihat berapa kemampuan perusahaan membayar utang. Berapa kemampuan mencicil utang. Kapan bisa mulai mencicil. Bahkan pengadilan bisa mengolor pelunasan utang itu dalam waktu puluhan tahun.
Pengadilan bisa memutuskan begitu lantaran melihat bisnis Garuda masih cerah. Jumlah penumpang masih banyak. Nama Garuda, di mata penumpang sangat harum: aman dan tepat waktu.
Pasar domestik Garuda sangat kuat. Dengan memperbaiki program Garuda masih bisa operasi dengan pendapatan yang ada. Asal ada keringanan di pembayaran utang tadi.
Jangan takut ke PKPU. Malu sebentar. Tapi menyelamatkan banyak hal: nama Garuda, karyawan dan juga pemegang saham.
Atau, setelah mendekati batas waktu yang ditetapkan pengadilan, para lessor tiba-tiba menerima keinginan kita. Artinya, perusahaan juga akan tetap beroperasi, tanpa terlalu berat membayar cicilan utang.
Mumpung ada alasan ke PKPU. Enam bulan lagi belum tentu alasan itu masih relevan. Misalnya, kalau tiba-tiba semua negara merdeka dari Covid-19.
Momentum kadang hanya terjadi sekali. Kalau momentum Covid ini tidak bisa dimanfaatkan Garuda akan terus mengalami kesulitan sampai jangka waktu yang saya tidak bisa memperkirakan.
Kalau lewat PKPU Garuda bisa diselamatkan, itu sekaligus momentum untuk menata masa depan yang lebih tertata. Itu pun juga tidak menjamin. Hasil setiap pemilu bisa mengubah banyak hal. Termasuk mengubah yang sudah baik menjadi kurang baik.
Ayolah ke PKPU.
Tidak hanya komisaris seperti mbak Yenny Wahid yang akan mendampingi. Juga komisaris seperti Peter Gonta pasti mau diajak serta. Malunya ditanggung rame-rame. Saya pun tidak keberatan ikut mengantarkan ke PKPU --meski akan terasa lucu.
Peter Gonta adalah komisaris mewakili pemegang saham 29 persen: Chairul Tanjung. Di antara lima kursi komisaris dua dari CT. Yakni Chairal Tanjung (adik Chairul Tanjung) dan Peter Gonta.
Minggu lalu Peter bikin heboh. Ia membuat surat ke direksi. Surat itu bocor ke medsos. Peter sendiri yang membocorkan. Ia tidak peduli hal seperti itu melanggar aturan perusahaan dan aturan sopan santun. Ia sudah merasa tidak ada jalan lain untuk menyuarakan pikirannya untuk memperbaiki Garuda.
Realitasnya, Garuda kini menyewa 90 pesawat --termasuk untuk kebanggaan saya: Citilink. Dari jumlah itu hanya 40 pesawat yang terbang.
Akibatnya, dari 1.500-an pilot hanya 700 yang harusnya berdinas. Tapi Garuda terus membayar sewa pesawat yang tidak terbang itu. Juga membayar penuh kelebihan pilot dan karyawannya.
Memang direksi Garuda sudah melakukan negosiasi dengan lessor. Sudah ada juga yang berhasil. Atau agak berhasil. Tapi negosiasi itu dianggap kurang keras. Mungkin karena kita orang timur. Padahal uang tidak mengenal suku dan agama.
Salah satu contoh yang 'agak berhasil' itu adalah: sewa sudah bisa turun. Tapi kurang banyak. Masih berat. Dan lagi pesawatnya masih harus parkir di Jakarta. Itu berarti sewa parkir, perawatan dan asuransi masih menjadi tanggungan Garuda.
Garuda, kabarnya, sudah menunjuk perusahaan asing untuk melakukan negosiasi itu. Tapi tetap saja negosiasi terbaik adalah oleh orang kita sendiri. Yang memang punya jiwa sebagai negosiator. Juga punya kemampuan. Termasuk bahasa.
Negosiasi itu sendiri akan lebih kuat atas perintah pengadilan. Dengan batas waktu yang jelas. Tidak perlu malu. Toh nyaris semua negara mempunyai mekanisme seperti lewat PKPU itu. Yang kalau di Amerika kita kenal sebagai Chapter 11.
Memang, Dirut Garuda --seperti yang dikemukakan di TV One tiga hari lalu-- mengatakan Garuda akan baik-baik saja. Di forum TV One itu saya tergelitik atas penjelasan Pak Dirut itu. Maka saya pun bertanya pada Pak Dirut: apakah sampai tiga bulan ke depan Garuda masih akan bisa terbang normal?
Saya ingin tahu yang pasti-pasti saja.
Jawabnya begitu meyakinkan: sampai tiga bulan ke depan masih akan bisa terbang normal. Bahkan tidak hanya tiga bulan. ”Selama-lamanya.” ujarnya.
Tapi saya juga tahu: Garuda untuk bisa membayar gaji saja sudah harus dengan cara menjual tiket masa depan. Lewat perusahaan biro perjalanan.
Saya tetap salut bahwa direksi sudah sedang melakukan negosiasi dengan lessor. Tapi tanpa batas waktu yang pasti mereka akan terus buying time. (Dahlan Iskan)