SAYA menghubungi beberapa pengusaha besar. Apakah mereka ''tersinggung'' oleh Aki. Terutama setelah Aki –begitu Akidi Tio biasa dipanggil– tiba-tiba menyumbang Rp 2 triliun kepada Kapolda Sumsel Irjen Pol Eko Indra Heri.
"Pak Dahlan," kata seorang pengusaha besar itu, "Aset perusahaan saya hampir Rp 30 triliun. Kalau, misalnya, hari ini saya menyumbang Rp 2 triliun, perusahaan saya langsung kolaps," katanya.
Memang, katanya, Rp 2 triliun itu hanya 7 persen dari Rp 30 triliun. "Tapi saya jamin, tidak ada uang kontan sampai sebanyak Rp 2 triliun di kas atau di bank perusahaan saya," tambahnya.
Ia sama sekali tidak ''tersinggung'' oleh Aki. Atau oleh anak-anak Aki. Ia tetap akan memberikan sumbangan. Meski nilainya tetap seperti yang selama ini sudah ia lakukan.
"Sejak kemarin saya berdoa sehari tiga kali. Agar Kapolda Sumsel benar-benar menerima uang Rp 2 triliun itu," katanya.
Saya sendiri pun berdoa seperti itu. Saya juga tidak tersinggung. Saya juga hanya bisa urunan semampu saya di awal Covid lalu.
Teman-teman pengusaha lain pun berdoa yang sama. Mereka memuji setinggi langit ada malaikat seperti almarhum Aki. "Di tengah kesulitan selalu ada malaikat. Meski pun ada juga yang tega jadi setan," ujar teman satunya lagi.
Sampai Rabu sore lalu uang Rp 2 triliun dari Aki itu belum cair. Mungkin masih dicari jalan bagaimana cara masuknya ke rekening Kapolda Sumsel.
Tapi sampai Kamis siang kemarin juga belum ada tanda-tanda positif.
Memang ada selentingan kemungkinan cairnya jam 15.00 Kamis kemarin. Lewat Bank Mandiri. Tapi saya tidak berhasil mengecek kebenarannya. Maka tetap saja selentingan tadi saya anggap hanya kabar burung –meski kasihan burungnya.
Yang jelas mulai Kamis sore kemarin rumah Heryanti dijaga polisi. Itulah rumah putri bungsu almarhum Aki. Satu-satunya dari 7 anak Aki yang tinggal di Palembang. Yang rumahnya kira-kira seharga Rp 2 sampai Rp 3 miliar –sangat sederhana untuk ukuran keluarga triliuner.
Kelihatan juga ada mobil polisi berhenti di depan rumah. Salah seorang Polwan turun dari mobil, masuk pagar rumah itu. Wartawan diminta menjauh dari jalan depan rumah Heryanti. Juga diminta untuk memasukkan HP ke saku –agar tidak memotret dengan HP.
Begitulah cerita wartawan Sumatera Ekspres di Palembang yang selalu melaporkan kejadian di lapangan ke HP saya.
Laporan lainnya: dana Rp 2 triliun itu sudah ada di sebuah bank di Singapura. Itu sudah dimuat beberapa media termasuk harian serius Kompas.
Uang itu, tulis media tersebut, hasil tabungan Aki sendiri. Di masa hidupnya. Sejak dolar masih Rp 4 ribu/dolar.
Itu berarti sejak jauh sebelum krisis moneter tahun 1998. Masuk akal saja. Banyak orang Indonesia yang punya tabungan dolar di Singapura. Lalu menjadi lebih kaya raya setelah krismon. Ketika dolar menjadi Rp 15 ribu/dolar.
Bahwa Aki punya tabungan di Singapura juga tidak aneh. Orang Tionghoa itu punya perasaan terancam yang tidak habis-habisnya. Mereka harus punya tabungan dalam dolar. Harus pula di luar negeri. Sewaktu-waktu jiwa mereka terancam masih ada ''pegangan''.
Sikap seperti itu mulai berubah sekitar 10 tahun terakhir. Ketika hak-hak warga minoritas sudah disamakan dengan warga mayoritas. Tapi tabungan lama seperti yang di Singapura tidak serta merta dibawa pulang. Pengampunan pajak dulu itu dimaksudkan –antara lain– untuk menarik uang seperti itu.
Jangan heran kalau ada orang yang kelihatannya biasa-biasa saja sebenarnya punya uang lebih banyak dari orang yang pakai jas dan dasi. Mereka sudah terbiasa hidup dengan sangat hemat –lantaran perasaan selalu terancam tadi.
Maka kalau uang Rp 2 triliun itu benar ada di bank di Singapura, berarti nilainya sekitar SGD 200 juta. Belum jelas apakah bentuknya tabungan, rekening, atau deposito.
Aki meninggal 2009. Berarti sudah begitu lama uang itu mengendap di sana. Anak-anak Aki benar-benar hebat. Mereka mampu menahan diri –untuk tidak tergoda mencairkannya.
Saya sampai menduga-duga: apakah Aki meninggalkan surat wasiat –yang juga disimpan di bank itu? Sehingga bank tidak bisa mencairkannya selain sesuai dengan wasiat itu? Adakah wasiatnya berbunyi: ahli waris tidak berhak mencairkannya –kecuali sepenuhnya untuk bantuan sosial?
Saya pernah membantu urusan teman dengan sebuah bank di Singapura. Waktu itu ada seorang pengusaha besar Surabaya meninggal dunia. Punya pabrik keramik modern dan besar sekali. Tidak punya anak kandung. Tidak punya saudara kandung. Ia punya dua anak angkat. Sang ayah punya tabungan besar di Singapura. Untuk mencairkannya luar biasa sulitnya. Terutama karena salah satu anak angkat itu lebih lihai mengurus di bank tersebut.
Saya membayangkan Aki juga meninggalkan tabungan di bank Singapura. Tapi, itu tadi, kok anak-anak Aki hebat sekali. Tidak tergoda dengan tabungan itu.
Bahkan anak Aki itu –seperti diceritakan seorang keluarga dokter kepada ''orang saya'' di Palembang– tabungan itu tidak hanya Rp 2 triliun.
Berapa? Tariklah napas dulu –Rp 16 triliun.
Tentu saya tidak langsung percaya –meski pun kepada saya di-copy-kan percakapan WA yang menyebut angka Rp 16 triliun itu.
Mengapa saya tidak percaya?
Karena, angka Rp 16 triliun itu disebut-sebut terkait dengan tagih-menagih utang. Sang anak ditagih. Yang menagih seorang dokter. Nilai tagihan Rp 3 miliar. Yang ditagih minta mundur terus. Sambil mengatakan ada uang di Singapura Rp 16 triliun.
Si teman percaya uang itu benar-benar ada. Ia pernah ikut menemani si anak ke Singapura. Mengurus uang tersebut. Ada. Karena itu ia berani meminjami uang sampai Rp 3 miliar. Agar urusan menarik warisan sang ayah bisa segera terwujud. Si anak berjuang tidak mengenal lelah untuk mengurus warisan itu. Bertahun-tahun. Dengan biaya yang besar.
Aki adalah orang kaya lama. Dengan gaya lama pula –tidak mau menunjukkan kekayaannya. Ia punya usaha di mana-mana. Tentu dengan banyak partner luar negeri. Itu yang membuat urusan bertambah panjang.
Hari-hari esok adalah hari penuh harapan: uang Rp 2 triliun tersebut siapa tahu benar-benar datang.(Dahlan Iskan)