Harapan barisan Islam yang bermarkas di Jalan Satria, Kedungrejo, Waru, berbuah kemerdekaan. Namun, jejak markas besar mereka jauh dari harapan. Gojali, menunggu bangunan itu bertahun-tahun. Kini kondisinya semakin rapuh.
UNTUK kesekian kalinya Harian Disway datang ke bangunan Markas Besar Oelama. Hujan sedari siang menyebabkan halaman bangunan tersebut tergenang air.
Sisi bagian bawah pagar sebelah utara berlubang. Tujuannya, apabila banjir, air genangan dapat mengalir ke selokan kecil yang berada persis di depan bangunan tersebut.
Namun selokan yang tingginya sama dengan batas lubang meluap. Sehingga air yang semula ditujukan ke lubang selokan malah jadi terbalik. Air selokan yang mengalir ke halaman bangunan tersebut.
Ikan-ikan kecil berkerumun dengan riang, berenang-renang lalu mendadak tercerai-berai karena derap kaki Ahmad Gojali, penunggu bangunan tersebut. Ia keluar dengan dua sisi kain celana panjangnya yang ditekuk hingga sedikit ke bawah lutut.
“ Iki sek gak sepiro. Nek udane deres, sampeyan isok mancing nangkene , Mas,” ujarnya. Katanya, genangan itu belum seberapa. Jika hujan turun deras, siapa saja bisa memancing ikan di halaman tersebut. Sebab, jika hujan parah, banjirnya sampai selutut.
Kondisi itu berbanding terbalik dengan kisah heroik yang pernah terjadi di dalam bangunan tersebut. Selain kisah tentang Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Wahab Hasbullah yang terus bergerak dan kebal peluru, ada pula kisah tentang kiai dan santri mereka yang terkenal linuwih.
Salah satunya adalah kisah Kiai Muhaiminah dari Pondok Bambu Runcing, Jawa Tengah. Ketika berjuang bersama barisan Islam, ia hanya bersenjata biji jagung. Ketika biji-biji itu disebarkan, mendadak berubah menjadi sekawanan lebah yang menyengat para tentara Inggris.
“Kalau KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU), beliau katanya punya tongkat. Ketika ditancapkan, tak ada satu pun musuh yang berani mendekat,” ujar Gojali.
Bangunan Markas Besar Oelama itu kabarnya pernah dijatuhi bom oleh pesawat Inggris. Ajaibnya, bom itu tak meledak. Hujan peluru juga tak mampu melubangi dinding bangunan tersebut.
Kini, setelah sekian lama, bangunan itu sedikit demi sedikit kalah oleh usia. Dinding keropos, menguning, hingga konstruksi batu batanya terlihat jelas.
Jejak tempat wudu para kiai dan santri pun telah ditutup oleh dinding batu bata tebal. Di sekitarnya, material bangunan menumpuk. Milik Gojali. Sebab, sehari-hari ia bekerja sebagai tukang serabutan.
Bekas kamar mandinya pun sama mirisnya. Dihinggapi tanaman-tanaman liar dan lumut-lumut. Sarang laba-laba memenuhi tiap sudutnya, dari bawah hingga ke atas. Atapnya terbuka dengan sulur-sulur tanaman liar. Entah, bagaimana Gojali menggunakan kamar mandi itu dalam kesehariannya. Mungkin jika waktu mandi atau buang hajat, ia pulang dulu ke rumah pribadinya di Kureksari, Sidoarjo.
“Tapi saya lebih banyak di sini. Karena sudah diberi amanat oleh PCNU Surabaya, Ansor dan kawan-kawan NU di Waru,” ungkap pria 52 tahun itu. Meski hanya lulusan SMP, Gojali teguh dalam memegang amanat dan mampu menjadi tour guide bagi tiap pengunjung.
Ahmad Gojali yang setia menjaga Markas Besar Oelama.(Foto: Rizal Hanafi-Harian Disway)
Tapi di balik semua itu ia berharap banyak, terutama untuk perawatan bangunan tersebut. “Pernah ada dana dari kawan-kawan NU. Tapi ya cukup untuk merenovasi beberapa sudut saja,” ujarnya. Ia juga pernah mengusulkan untuk membeli bongkah-bongkah batu, untuk dipasang di halaman demi membendung banjir. “Saya tidak minta uang. Cukup sediakan saja batunya. Nanti saya yang susun,” tambahnya. Namun hingga kini harapannya belum terealisasi.
Bangunan tersebut kerap dipakai untuk pengajian atau rapat-rapat kecil para pengurus NU, Banser dan Ansor setempat. Juga sekaligus menapak-tilasi jejak perjuangan barisan Islam pada masa 10 November. Dalam berbagai pertemuan, Gojali mendengar kabar bahwa telah diajukan upaya renovasi. “Katanya sudah ada anggaran renovasi sebesar 2 milyar. Bu Gubernur juga membantu. Yang merenovasi nanti tim di ITS. Tapi itu katanya, loh . Semoga benar-benar terealisasi,” ungkap ayah satu anak itu.
Beberapa petinggi pemerintahan juga pernah hadir dalam beberapa acara yang diadakan di Markas Besar Oelama. “Dulu pak Wakil Bupati Sidoarjo pernah hadir dan menjanjikan agar diurus menjadi cagar budaya. Tapi beliau meninggal saat pandemi kemarin. Semoga Gus Muhdlor, bupati yang sekarang, bisa mewujudkannya,” ungkapnya.
Namun selain peristiwa perang 10 November, bangunan tersebut pernah dimanfaatkan sebagai tempat berkumpul para kiai dan ulama, pada peristiwa 1965. Mereka ingin membendung pengaruh PKI di kawasan Waru. “Dulu di depan bangunan ini, yang sekarang jadi pabrik paku, adalah markasnya Gerwani,” ujarnya. Para kiai yang terdiri dari kiai Yamak, Nur Yahya, Usman, Gus Ud dari Pagerwojo, melakukan konsolidasi untuk mengejar dan menangkap mereka yang terlibat PKI.
“Semua bergerak, menangkapi PKI-PKI itu. Termasuk menyerang kantor PKI Sidoarjo yang sekarang jadi pabrik soda,” ujarnya. Para tawanan PKI dibawa ke kawasan Karanganyar, Sidoarjo, kemudian tak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya. Di antara barisan para kiai, santri dan masyarakat yang menangkapi anggota atau simpatisan PKI, terdapat nama Sandrio. “Itu bapak saya. Pada 1965 almarhum ikut konsolidasi juga di bangunan ini,” terangnya.
Gojali berharap, ada tindak lanjut bagi upaya kelestarian dan keutuhan bangunan tersebut. Sebab jika sampai hilang, Markas Besar Oelama dan sejarah yang melingkupinya tak bisa lagi menjadi pelengkap wawasan bagi generasi penerus bangsa. (Guruh Dimas Nugraha)