Setelah lebih dari 7 tahun perang saudara, negara termiskin di dunia Arab itu sudah menderita apa yang disebut PBB sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Lebih dari 17 juta orang di Yaman menghadapi kerawanan pangan tingkat tinggi.
Penilaian ini didukung data PBB, kondisi kelaparan sudah menimpa lebih dari 30.000 warga Yaman.
Ali al-Kabous, seorang importir dan pedagang gandum, begitu mengkhawatir fakta yang ada.
”Jika perang antara Rusia dan Ukraina berlanjut, harga gandum akan meningkat di sini," ujaranya.
Pertempuran untuk bertahan hidup
Harga pangan di Yaman telah meningkat dua kali lipat sejak tahun lalu dan pertempuran selama bertahun-tahun di negara itu telah menyebabkan runtuhny aekonomi.
Saat stafnya menurunkan lusinan karung putih berisi tepung, Kabous menunjukkan kekhawatiran.
Ketika harga minyak dunia naik, demikian juga biaya transportasi ikut naik. ”itu akan menjadi beban besar bagi rakyat," kata dia.
Houthi yang didukung Iran mengendalikan sebagian besar Yaman utara memerangi pemerintah Yaman padahal secara internasional diakui sejak 2015.
Mereka pun menuduh Iran menyelundupkan senjata ke Houthi. Tuduhan itu telah dibantah Teheran. Apalagi, Koalisi telah memberlakukan blokade udara dan laut di wilayah yang dikuasai pemberontak sejak 2016.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB melaporkan tahun lalu bahwa total produksi sereal pada tahun 2020 diperkirakan mencapai 365.000 ton.
Pada 2 April, gencatan senjata yang ditengahi PBB berlangsung selama dua bulan.
Sebagai bagian dari perjanjian itu, koalisi setuju untuk melonggarkan blokadenya untuk mengizinkan dua penerbangan komersial mingguan ke Sanaa.
Bahan, bakar dan lebih banyak pengiriman makanan juga akan mengalir ke pelabuhan bantuan garis hidup Hodeida, yang juga dikuasai pemberontak.
Setelah lebih dari 150.000 orang diperkirakan tewas dalam pertempuran itu, kekerasan telah menurun setelah gencatan senjata, yang dimulai pada hari pertama bulan suci Ramadhan.