POLITIK praktis demi kekuasaan sering disalahpahami, bukan karena esensinya, melainkan kebanyakan perilaku orang-orangnya. Politik praktis pun kerap menjadi korban stigmatisasi negatif.
Seandainya perilaku para politisi mencerminkan perbuatan luhur yang menjadi tumpuan harapan semua orang, citra politik praktis dan kekuasaan akan kembali positif. Inilah bisa diharapkan dari para ideolog maupun praktisi dakwah Ahlussunah Wal Jamaah (Aswaja).
Terjunnya para ideolog maupun praktisi Aswaja ke kancah politik praktis/kekuasaan, menjadi angin segar bagi rakyat, yang pada kenyataannya kerap kecewa melihat pengelolaan negara jatuh ke tangan orang-orang berideologi sekuler.
BACA JUGA:Meluruskan Opini Yenny Wahid tentang Cak Imin, Membicarakan Etika Politik
Di tangan kaum sekuler, negara diperlakukan seperti properti untuk pemuasan hasrat kekuasaan duniawi. Nilai-nilai seperti perjuangan demi rakyat hanya pemanis bibir saja. Ketika betul-betul berada di puncak kekuasaan, yang ada hanya tinggal pengkhianatan terhadap janji politik maupun harapan rakyat.
Masalahnya sekarang, para ideolog maupun praktisi Aswaja lebih memilih menikmati zona dakwah yang nyaman; dakwah kultural. Ada benarnya dalam pidatonya, KH. Marzuki Mustamar dawuh: "kita ini sering abai urusan besar. Bila urusan negara, kita memasrahkan pada orang lain untuk mengatur dan menguasai kita".
Ungkapan Kiai Marzuki Mustamar tersebut memang menggambarkan kenyataan sekarang. Para ideolog maupun praktisi Aswaja lebih condong membiarkan kepemimpinan politik atas negara berasal dari luar kelompok.
Hemat penulis, kepemimpinan politik atas negara ini harus diambil alih oleh kelompok Aswaja. Sebagai sebuah ideologi, Aswaja butuh diperjuangkan lewat jalur politik praktis dan politik kekuasaan. Hal ini bukan sebatas cita-cita melainkan fakta sejarah yang tidak dapat dimungkiri.
Kita bisa ambil contoh kecil. Di era klasik, Imam Ahmad bin Hambal terpaksa menjadi korban kekerasan di hadapan penguasa yang bermazhab Mu'tazilah. Demi mempertahankan ideologi Aswaja, Imam Ahmad berhadap-hadapan dengan penguasa.
Di era modern, Arab Saudi adalah negeri dengan ideologi Aswaja, karena berada di bawah kekuasaan Turki Usmani. Sejak Muhammad bin Abdul Wahhab berkolaborasi dengan keluarga Saud, Aswaja tenggelam dan digantikan oleh Wahhabi diiringi pemberontakan pada Usmaniah. Peristiwa politik kekuasaan ini di kemudian hari memicu para kiai Nusantara membentuk organisasi NU.
Ideologi Aswaja diperjuangkan dengan politik kekuasaan juga bisa dilihat dari pengalaman Mesir. Al-Azhar dibangun 980-972 M). Hari ini Al-Azhar bermazhab Sunni. Sebelumnya dikelola oleh Dinasti Fatimiyah yang Syiah pada tahun 909-1171 M. Al-Azhar didirikan demi kepentingan Mazhab sebelum bermetamorfosa menjadi intelektualisme murni.
Di negeri kita tercinta ini, Aswaja juga diperjuangkan secara politik oleh para da'i muslim era awal. Dewan Wali Songo menunjuk Raden Fatah untuk menjadi Adipati Demak (sebelum menjadi kesultanan). Raden Fatah terlalu sibuk mengurusi pondok pesantren sehingga dianggap tidak patuh pada Majapahit. Kemudian lahirlah konflik antara Demak dan Majapahit.
Dengan pengalaman berbeda, anggota Wali Songo dari Cirebon, Sunan Gunung Jati, memilih dirinya untuk berdakwah lewat kekuasaan politik. Ia menjadi raja, di mana tidak satu pun anggota Wali Songo lain kala itu yang secara langsung terjun ke ranah politik praktis.
Artinya, esensi politik praktis dan politik kekuasaan bukanlah sesuatu yang negatif, tergantung dari figur yang menjalankan. Berpolitik praktis menjadi kebutuhan mendesak di era kontemporer ini, ketika satu-satunya regulasi yang ada mensyaratkan dukungan partai politik bagi calon pemimpin negara.
Dari sinilah, para ideolog maupun praktisi dakwah Aswaja perlu berpolitik praktis. Dan sudah sangat terang benderang saluran politik Aswaja itu adalah Partai Kebangkitan bangsa (PKB). Satu-satunya partai yang berlandaskan ideologi aswaja, jadi, perlu dicatat, masa depan aswaja akan ditentukan sejauh mana kekuasaan politik yang di raih PKB, Wallahu a'lam bis shawab.