JAKARTA, DISWAY.ID - Presiden Joko Widodo mewaspadai ancaman resesi ekonomi yang berpotensi mengganggu kestabilan sektor keuangan di dalam negeri.
Ya, ancaman resesi ekonomi dan gejolak sektor keuangan menghantui negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.
Pemicunya adalah Perang Rusia dan Ukraina yang menyebabkan lonjakan harga energi dan menimbulkan krisis pangan.
Kondisi ini menyebabkan sejumlah negara, termasuk negara-negara besar di Eropa dan Amerika Serikat, mengalami kenaikan inflasi. Sedangkan perekonomian melambat hingga terancam masuk ke jurang resesi.
Demi meredam laju inflasi, sejumlah negara besar mengerek tingkat suku bunga. Yang paling mencolok adalah Amerika Serikat (AS).
Pada Juni lalu, bank sentral di negara itu, The Fed, menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin (bps), yang merupakan kenaikan tertinggi sejak 1994 silam.
Alhasil, bunga The Fed saat ini berkisar 1,5 – 1,75%, yang merupakan angka tertinggi sejak sebelum pandemi.
Bank sentral AS itu masih berencana mengerek terus suku bunga hingga diperkirakan mencapai 3,4% pada akhirn tahun ini.
Kebijakan moneter AS tersebut mengguncang pasar keuangan dunia. Indonesia pun tak imun dari gejolak tersebut.
Nilai tukar rupiah terus melemah hingga menembus level Rp15.000 per dolar AS.
Mencermati kondisi tersebut, Jokowi melihat pentingnya menjaga stabilitas sistem keuangan di dalam negeri.
Caranya terutama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengawasi setiap penyelenggara jasa keuangan agar tetap berjalan baik dan dalam kondisi sehat
“Stabilitas industri keuangan itu penting. Saya juga sudah sampaikan ke KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan), jangan ada lagi asuransi bermasalah,” kata Jokowi dalam pertemuan dengan para pemimpin redaksi media massa di Istana Negara, Jakarta, Rabu 13 Juli 2022.
Jokowi meminta secara khusus kepada OJK, AGAR peranannya untuk mengawasi sektor perbankan secara detail dan menyeluruh.
Meski selama ini OJK melaporkan kondisi makro sektor keuangan cukup baik dan terjaga dengan indikator-indikator permodalan, simpanan dan kredit.