JAKARTA, DISWAY.ID - Kementerian Agama (Kemenag) dinilai lambat dalam merespons kasus kekerasan seksual yang marak terjadi di tingkat satuan pendidikannya.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan, Kementerian Agama di bawah Menteri Yaqut Cholil Qoumas harusnya tanggap dengan regulasi atau aturan khusus.
"Sangat disayangkan, padahal tiap hari potensi kekerasan terus terjadi, tapi Kemenag lambat dalam meresponsnya secara regulasi," kata Satriawan dalam keterangannya, dikutip Kamis 21 Juli 2022.
Satriawan menyatakan, sampai saat ini Kemenag belum kunjung mengeluarkan regulasi khusus yang mengatur tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual.
"Baginya, Kemenag sangat tertinggal dari Kemdikbudristek dari sisi regulasi terkait pencegahan kekerasan seksual," ujarnya.
BACA JUGA:Bakal Seru Nih! Tak Lama Lagi Tersangka Pembunuhan Brigadir J Diumumkan, Ini Tanda-Tandanya
Sebagai informasi, Kemendikbudristek telah memiliki Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan.
"Karena itu, P2G mendesak agar Kemenag segera membuat Peraturan Menteri Agama mengenai pencegahan dan penanggulangan kekerasan," tuturnya.
"Termasuk kekerasan seksual di madrasah atau satuan pendidikan berbasis agama di bawah Kemenag," sambungnya.
Ia menegaskan Kemenag mestinya sadar saat ini para siswa tengah menghadapi darurat kekerasan seksual di satuan pendidikan.
"Jika selesai diundangkan, mendesak kemudian sosialisasi dan pelatihan bagaimana strategi satuan pendidikan berbasis agama mencegah dan menanggulangi kekerasan tersebut, bagaimana peran guru, majelis masyaikh (kyai), pastor, pendeta, pengawas, siswa, orang tua, dan lainnya," kata dia.
Sementara itu, Kabid Litbang Guru P2G Agus Setiawan meminta agar lingkungan sekolah, menjadi tempat aman, sehat, dan nyaman bagi tumbuh kembang anak sesuai kodratnya.
Agus meminta pihak sekolah/madrasah/pesantren/seminari atau sebutan lainnya tidak bisa lagi melarang siswa menggunakan gawai pintar di sekolah.
Pasalnya, HP sudah menjadi kebutuhan dalam pembelajaran serta media berkomunikasi antara anak dan orang tua secara intens. Terlebih gawai dibutuhkan bagi siswa yang belajar di satuan pendidikan sistem berasrama.
"Jadi ketika terjadi indikasi kekerasan di satuan pendidikan, anak bisa langsung melaporkan kejadian tersebut kepada orang tua, sehingga terjadi pengawasan timbal balik," kata Agus.