Menyayangkan Pencabutan Gugatan Ijazah Palsu Jokowi

Minggu 30-10-2022,04:48 WIB
Oleh: Yusril Ihza Mahendra

SEJAK dua hari yang lalu saya sungguh-sungguh menyayangkan gugatan gugatan melawan hukum atas kasus “Ijazah Palsu Jokowi” oleh para pengacara Bambang Tri Mulyono (BTM) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kamis 27 Oktober 2022.

Sebaliknya juga, saya menyayangkan mengapa polisi menahan BTM dalam dugaan melakukan tindak pidana kejahatan agama. Meskipun tidak terkait dengan gugatan “ijazah Jokowi”, namun tindakan itu palsu dari Pemerintah menggunakan kekuasaan, hukum, dalam menghadapi BTM. 

Sementara semua orang tahu, BTM menggunakan Eggi Sudjana dan Ahmad Khozinudin sedang menggugat ijazah Jokowi ke PN Jakarta Pusat. Penahanan BTM ini pula yang dijadikan Eggi dan Khozinudin sebagai alasan untuk mengajukan permohonan.

Menurut mereka, sebagai pengacara, mereka susah mengumpulkan bukti-bukti untuk memenangkan gugatan, karena BTM ditahan polisi dan tidak bisa dikunjungi. Padahal BTMlah menurut mereka, yang memiliki akses saksi-saksi dan bukti untuk dihadirkan dalam persidangan.

Dengan gugatan dicabutnya, maka apakah ijazah Jokowi, SD, SMP, SMA dan UGM yang dijadikan syarat untuk maju ke Pilpres Jokowi, asli atau palsu, akhirnya tidak diputuskan dan diputuskan oleh pengadilan.

Padahal putusan hukum yang inkracht van gewijsde dan menyatakan ijazah Jokowi asli atau palsu sangat penting, bukan saja untuk kontroversi politik mengenai hal itu, tetapi juga sangat penting untuk kepastian hukum, agar kasus konflik berakhir dengan jelas. Kalau tidak, kasus ini akan menggantung dan menjadi gunjingan politik tanpa henti. 

Para pendukung dan simpatisan Jokowi akan ramai-ramai membuat pernyataan ke media, termasuk pejabat pejabat pemerintah, pejabat struktural dan dosen UGM serta sahabat, teman seangkatan dan handai taulan Jokowi yang menyatakan mereka menjadi “saksi” ijazah Jokowi asli.

Sebaliknya juga BTM dan para pendukungnya tidak akan pernah berhenti menggunakan media yang ada untuk terus menjaga serangan bahwa Jokowi adalah “penipu” dan “ijazahnya palsu” dengan bukti-bukti versi mereka tentunya.

Tetapi semua pernyataan itu hanyalah bagian dari pembentukan dan penggalangan opini belaka. Dari sudut hukum, pernyataan-pernyataan itu tidak ada bobot dan nilanya, kecuali keterangan itu diucapkan di bawah sumpah dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.

Saya teringat suatu ketika ada sekelompok pengacara yang menamakan dirinya “100 Pengacara Reformasi” dipimpin Suhana Natawilana, menggugat keabsahan berhentinya Presiden Suharto ke PN Jakarta Pusat. Mereka mendalilkan bahwa berhentinya Suharto tanpa melalui MPR tidak sah.

Akibatnya, kedudukan BJ Habibie sebagai Presiden menggantikan Suharto juga tidak sah. Polisi zaman BJ Habibie waktu itu tidak menangkapi Suhana dkk dengan macam-macam alasan pidana.

BJ Habibie juga berkata kepada saya, biar pengadilan memutuskan sah atau tidaknya Suharto berhenti, dan sah atau tidaknya dirinya menjadi Presiden menggantikan Suharto.

BJ Habibie berkata demikian kepada saya di Bina Graha dalam kedudukan sebagai Asisten (saat ini, Deputi) Mensesneg yang melaporkan adanya gugatan itu.

Saya sendiri dipanggil PN Jakarta Pusat untuk memberikan keterangan bagaimana proses berhentinya Suharto dan bagaimana prosesnya BJ Habibie menggantikannya sebagai Presiden.

Kebetulan saya merupakan salah seorang saksi sejarah atas terjadinya peristiwa peralihan kekuasaan tahun 1998 itu. Setelah sidang berlangsung cukup lama, PN Jakarta Pusat akhirnya memutuskan menolak gugatan 100 Pengacara Reformasi.

Kategori :