Muhammadiyah Desak Jokowi Cabut Pernyataan Presiden Boleh Kampanye dan Memihak

Minggu 28-01-2024,07:20 WIB
Reporter : Marieska Harya Virdhani
Editor : Marieska Harya Virdhani

JAKARTA, DISWAY.ID - Muhammadiyah angkat bicara terkait pernyataan
Presiden Joko Widodo yang mengatakan presiden boleh kampanye dan memihak.
 
Menurut Muhammadiyah, Jokowi memicu kontroversi.
 
"Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja. Presiden itu boleh loh kampanye, boleh lho memihak," ucap Jokowi beberapa waktu lalu kepada wartawan.
 
Muhammadiyah menilai pernyataan  ini langsung menimbulkan kontroversi di masyarakat.
 
Meskipun pada kesempatan yang sama, Presiden Jokowi menggarisbawahi bahwa kampanye dimaksud tidak menggunakan fasilitas negara.
 
Dalam keterangan resmi Muhammadiyah, pasca kontroversi, Presiden Joko Widodo memberikan klarifikasi.
 
Alih-alih  meralat pernyataannya tersebut, Jokowi justru menyebut bahwa ucapannya 
sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan 
Umum (UU Pemilu) dengan mengutip ketentuan Pasal 299 dan Pasal 281. 
 
"Kita ini kan pejabat publik sekaligus pejabat politik. Masak gini  enggak boleh, berpolitik enggak boleh, Boleh. Menteri juga boleh," ucap Jokowi saat itu. 
 
Muhammadiyah menilai melihat 
pernyataan terakhir Presiden, terkesan bahwa apa yang presiden sampaikan  adalah sebuah kebenaran yang harus didukung atau setidaknya tidak ditolak. 
 
"Pernyataan dimaksud tidak lain merupakan upaya mencari pembenaran.  Pertanyaannya, apakah pernyataan Presiden Joko Widodo ini dapat 
dibenarkan baik dari sudut pandang hukum maupun etika?" tulis Muhammadiyah dalam keterangan resmi yang ditandangani Trisno Raharjo sebagai ketua dan Muhammad Alfian sebagai sekretaris.
 
Pernyataan Lengkap Muhammadiyah
 
Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah menganggap  penting untuk mengambil sikap atas apa yang disampaikan oleh Presiden Joko  Widodo yang telah menimbulkan polemik ini.
 
Sikap ini dipandang penting 
mengingat Muhammadiyah memiliki peran dan tanggungjawab keummatan dankebangsaan untuk tetap menjaga nalar demokrasi yang diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa Indonesia ini agar tidak diseret sesuka hati elit politik  berdasarkan keinginan dan kepentingannya masing-masing.
 
Sebelum sampai pada pernyataan sikap yang akan disampaikan, Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah menyampaikan bahwa pernyataan Presiden Joko Widodo  dimaksud tidak bisa hanya dilihat dari kacamata normatif semata. Melainkan 
juga harus dilihat dari optik yang lebih luas yakni dari sudut pandang filosofis,  etis, dan teknis.
 
Pertama, dari sudut pandang normatif.
 
Adalah benar Pasal 299 ayat (1)  UU Pemilu menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden hak melaksanakan kampanye.
 
Namun demikian, ketentuan Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu ini tidak dapat dipandang sebagai sebuah norma yang terpisah dan tercerabut dari akar prinsip dan asas penyelenggaraan 
Pemilu yang di dalamnya terdapat aktivitas kampanye.
 
Pelaksanaan  kampanye harus dipandang bukan hanya sekedar ajang memperkenalkan peserta kontestasi politik, melainkan harus  dipandang sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat  sebagaimana diatur dalam Pasal 267 ayat (1) UU Pemilu.
 
Bagaimana  mungkin pendidikan politik masyarakat akan tercapai jika Presiden dan 
Wakil Presiden (yang aktif menjabat) kemudian mempromosikan salah 
satu kontestan, dengan (sangat mungkin) menegasi kontestan lainnya? 
 
Dengan demikian, pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa Presiden  dibenarkan secara hukum untuk melakukan kampanye dan berpihak 
merupakan statemen yang berlindung dari teks norma yang dilepaskan  dari esensi kampanye dan Pemilu itu sendiri.
 
Kedua, dari sudut pandang filosofis.
 
Presiden sebagai kepala negara adalah pemimpin seluruh rakyat.
 
Pada dirinya ada tanggung jawab moral dan hukum dalam segala aspek kehidupan bernegara, termasuk Pemilu. Presiden berkewajiban memastikan penyelenggaraan pemilu yang berintegritas untuk memastikan penggantinya adalah sosok yang  berintegritas.
 
Selain itu, sebuah jabatan publik (terlebih Presiden yang 
merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi) terikat  dengan prinsip dasar yang harus dipatuhi.
 
Pejabat publik disumpah 
untuk menjabat sepenuh waktu sehingga seharusnya memang tidak  ada aktivitas lain selain aktivitas yang melekat pada jabatan. 
 
Berdasarkan hal di atas, maka secara filosofis posisi Presiden adalah  pejabat publik yang terikat sumpah jabatan dan harus berdiri di atas dan 
untuk semua kontestan.
 
Dengan demikian, secara filosofis, aktivitas  untuk kampanye sekalipun dilakukan saat cuti adalah tidak tepat. 
 
Ketiga, dari sudut pandang etis (dan teknis).
 
Sumpah jabatan penyelenggara negara, termasuk presiden, adalah setia pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
 
Kesetiaan ini harus diwujudkan 
dalam segala aktivitasnya. Bahkan, meskipun Presiden diusulkan oleh  partai politik atau gabungan partai politik, saat dirinya menjabat menjadi 
Presiden, dirinya wajib tunduk pada rakyat bukan pada partai politik  pengusung.
 
Di luar itu, Joko Widodo, selalu akan dipersonifikasi sebagai presiden dalam aktivitas apapun.
 
Bahkan aktivitas keseharian yang tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan sekalipun.
 
Oleh karenanya, penyelenggaraan pemerintahan seperti  pembagian bantuan sosial akan secara langsung maupun tidak  langsung “dianggap” oleh sebagian masyarakat sebagai “bantuan 
Jokowi”.
 
Faktanya, kondisi ini diperparah dengan adanya kesengajaan 
dari Presiden dan sebagian menterinya untuk memposisikan “bantuan  sosial” ini sebagai “bantuan Jokowi”.
 
Berdasarkan hal-hal di atas, Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat  Muhammadiyah perlu menyatakan sikap sebagai berikut:
 
1. Mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut semua pernyataannya 
yang menjurus pada ketidaknetralan institusi kepresidenan, terlebih soal 
pernyataan bahwa Presiden boleh kampanye dan boleh berpihak.
 
2. Meminta kepada Presiden untuk menjadi teladan yang baik dengan selalu taat hukum dan menjunjung tinggi etika dalam penyelenggaraan negara. 
 
Presiden harus menghindarkan diri dari segala bentuk pernyataan dan 
tindakan yang berpotensi menjadi pemicu fragmentasi sosial, terlebih 
dalam penyelenggaraan Pemilu yang tensinya semakin meninggi.
 
3. Meminta kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk 
meningkatkan sensitifitasnya dalam melakukan pengawasan, terlebih  terhadap dugaan digunakannya fasilitas negara (baik langsung maupun  tidak langsung) untuk mendukung salah satu kontestan Pemilu.
 
4. Menuntut kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperkuat  peran pengawasan penyelenggaraan Pemilu, utamanya terhadap dugaan 
penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pemenangan satu  kontestan tertentu.
 
5. Meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencatat setiap  perilaku penyelenggara negara dan penyelenggara pemilu yang  terindikasi ada kecurangan untuk dijadikan sebagai bahan/referensi 
memutus perselisihan hasil Pemilu.
 
Sikap ini penting dilakukan oleh MK  agar putusannya kelak yang bukan sekedar mengkalkulasi suara (karena  MK bukan Mahkamah Kalkulator) tetapi lebih jauh dari itu untuk 
memastikan penyelenggaraan Pemilu telah berlangsung dengan segala  kesuciannya.
 
Tidak dinodai oleh pemburu kekuasaan yang menghalalkan 
segala cara.
 
Mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama mengawasi penyelenggaraan pemilu, penyelenggara pemilu, dan utamanya  penyelenggara negara.
 
Pengawasan semesta ini diperlukan untuk 
memastikan Pemilu berlangsung secara jujur, adil, dan berintegritas agar 
diperoleh pimpinan yang legitimated dan berintegritas serta memastikan 
tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan dan fasilitas negara oleh  penyelenggara negara.
 
 
 
Kategori :