JAKARTA, DISWAY.ID - Pemerintah memperbolehkan adanya praktik aborsi dengan syarat dan kondisi tertentu.
Hal itu diatur dalam aturan pelaksana Undang-Undang No 17 Tahun 2023 melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
"Setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana," dikutip dari Pasal 116, Rabu, 31 Juli 2024.
Adapun indikasi kedaruratan medis itu meliputi kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu dan/atau kondisi kesehatan janin dengan cacat bawaan yang tak dapat diperbaiki. Sehingga tidak memungkinkan hidup di luar kandungan.
BACA JUGA:15 Link Twibbon National Girlfriend Day 1 Agustus 2024, Unggah Foto Romantis Bersama Pacar!
Namun, semua itu harus disertakan dengan bukti. Hal tersebut sebagaimana pada Pasal 118 yang menyatakan kehamilan akibat perkosaan atau kekerasan seksual harus dibuktikan dengan:
Dikutip dari Pasal 119, pelaksanaan aborsi hanya dapat dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut yang sumber daya kesehatannya sesuai dengan ketetapan Menteri Kesehatan.
BACA JUGA:Pasutri Jadi Tersangka Penganiayaan Berat 2 Balita, Ternyata Keponakan Sendiri
BACA JUGA:Ahli Psikolog Forensik Ungkap Ada 2 Kemungkinan Motif dalam Kasus Vina Cirebon
Dalam proses pelayanan aborsi harus diberikan oleh tim pertimbangan dan dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan. Sementara itu, pada Pasal 121 ayat 3, tim pertimbangan ini harus diketuai oleh komite medik rumah sakit dengan anggota tenaga medis yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
Korban tindak pidana kekerasan seksual yang hendak melakukan aborsi harus mendapat pendampingan konseling.
Dikutip dari Pasal 124 ayat 1, apabila selama pendampingan korban hendak berubah pikiran dan membatalkan aborsi berhak mendapat pendampingan hingga persalinan.
Selanjutnya, pada Pasal 122 menjelaskan bahwa praktik aborsi haruslah mendapatkan persetujuan dari perempuan hamil yang bersangkutan dan persetujuan suami.
Pengecualian persetujuan suami terhadap korban perkosaan dan kekerasan seksual lainnya yang menyebabkan kehamilan.