Ini Alasan Presiden Tidak Perlu Menerima Mundurnya Gus Miftah

Senin 09-12-2024,17:16 WIB
Oleh: KH Imam Jazuli Lc. MA.

Pernyataan NU Online tersebut adalah contoh sikap netizen yang sangat berlebihan. Berdasarkan penelusuran penulis, Senin 9 Desember 2024, jam 15.00 WIBU, terhadap situs www.change.org, ditemukan bahwa tanda tangan baru mencapai 18,329 orang.

Dengan tujuan puncaknya 25,000 tanda tangan. Dengan kata lain, pernyataan petisi ditandatangani oleh 300 ribu adalah omong kosong.

Omong kosong dari akun NU Online menjadi perbincangan hangat di internal warga Nahdliyyin. Banyak pendapat dan analisa yang mengatakan bahwa pihak yang paling berkepentingan dengan pemunduran diri Gus Miftah adalah kelompok struktural NU.

Mereka telah bergerilya mencari sosok pengganti Gus Miftah, dengan harapan Presiden Prabowo segera memecat Gus Miftah.

Tentu saja, pendapat dan analisa tersebut di atas harus didasarkan pada bukti nyata. Semoga saja salah dan tidak terbukti. Namun jika benar maka alasan di balik viralnya ucapan Gus Miftah kepada bapak Sonhaji telah ditumpangi oleh kepentingan politik, terutama elite struktural NU. Oleh karenanya patut dicegah.

Kita semua sudah jadi saksi mata bagaimana kecewanya orang-orang PBNU yang telah  all-out untuk kemenangan Prabowo-Gibran. PBNU telah mengorbankan banyak hal, namun ganjaran yang PBNU dapatkan terlalu kecil. PBNU hanya berhasil mengantarkan Saifullah Yusuf (Gus Ipul) Sekjend PBNU ke istana sebagai menteri. Padahal, PBNU terlanjur jumawa bahwa separuh Kabinet Merah Putih akan diisi orang-orang NU. 

BACA JUGA:Memahami Dengan Sederhana Konsep Ukhuwah Islamiyah

Gus Miftah, Unik dan Urgen

Sulit kita menemukan sosok yang ideal seperti Gus Miftah. Ia adalah pemuda yang unik, memiliki latar belakang jalanan, pergaulan dengan para preman, dan berdakwah di jalur remang-remang.

Namun, semangat untuk mengabdi pada bangsa dan negara, untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, dan mewujudkan harmoni sosial tidaklah tertandingi.

Karakter Gus Miftah sangat unik yang dibutuhkan oleh bangsa ini. Ia berjiwa kesatria, mudah minta maaf ketika dinilai berperilaku salah, menebus kesalahan dengan kebaikan yang berlipat ganda, bahkan rela meninggalkan jabatan kekuasaan dengan entengnya.

Padahal, kita tahu, di zaman ini banyak orang yang berjuang mati-matian, bahkan menghalalkan segala cara, hanya demi memenangkan pemilu dan menduduki jabatan politik.

Kita dengan bangga bisa mengatakan, mayoritas politisi di negeri ini harus belajar pada jiwa kesatria Gus Miftah. Belajar bagaimana cara menganggap jabatan kekuasaan tidak perlu diperjuangkan mati-matian.

Kepribadian Gus Miftah mengingatkan kita pada Gus Dur, yang juga dengan entengnya meninggalkan jabatan kepresidenannya. Di lingkungan NU, hanya Gus Dur dan Gus Miftah yang memandang remeh jabatan kekuasaan. 

Karakter Gus Dur dan Gus Miftah adalah perkara yang urgen. Peran mereka berdua sangat besar bagi upaya persatuan dan kesatuan bangsa. Sementara masalah jabatan politik dan kekuasaan adalah nomor dua yang tidak perlu diperjuangkan mati-matian.

Namun, kita sebagai publik sekaligus rakyat Indonesia tidak akan terima jika harus kehilangan karakter ideal seperti Gus Miftah, sebagai pelanjut ideologi Gus Dur terutama dalam memaknai kekuasaan. (*)

Kategori :