Sedangkan Nia Umar menekankan bahwa ASI adalah blueprint bagi masa depan anak.
“Prioritaskan menyusui untuk membangun sistem berkelanjutan. Dengan begitu, pondasi kesehatan sudah terbentuk sejak awal kehidupan,” ujar Nia.
Hal ini diperkuat oleh pendapat dari dr. Asti Praborini yang menambahkan, menyusui bukan hanya soal gizi, tetapi juga ikatan kasih sayang, “memberikan ASI langsung memunculkan hormon cinta dari ibu kepada anak. Selain itu, ASI mendorong tumbuh kembang anak secara sehat dan kuat,” ujarnya.
Seminar ini turut menyoroti praktik budaya lokal, khususnya tradisi masyarakat Baduy di Banten yang erat dengan kebiasaan menyusui.
Nilai kearifan lokal ini diharapkan menjadi teladan dalam mengembangkan budaya menyusui di Indonesia.
Selain itu, kegiatan ini juga mendukung kebijakan pemerintah, seperti PP No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif dan UU No. 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak yang menegaskan hak ibu dan anak dalam proses menyusui.
Sebagai bentuk kepedulian berkelanjutan, LKC Dompet Dhuafa menjalankan gerakan Budaya Mengasihi, yakni promosi laktasi berbasis kearifan lokal di berbagai daerah.
Pada awal Agustus lalu, LKC Dompet Dhuafa melatih 240 kader di seluruh Indonesia yang kini siap mengedukasi lebih dari 2.400 ibu.
Langkah ini menjadi bukti komitmen Dompet Dhuafa dalam memperkuat pesan kesehatan melalui pendekatan budaya yang dekat dengan masyarakat.
Kehadiran para kader juga menjadi bagian penting dari rangkaian Pekan Menyusui LKC Dompet Dhuafa 2025.