Ditambah lagi, tata ruang dan perumahan kota yang mahal, tata kelola yang belum sepenuhnya dipercaya, serta arsitektur fiskal daerah juga belum menajamkan insentif kinerja.
“Karena biaya hidup menjadi “pajak diam-diam”, kebijakan anti-kemiskinan urban harus memusat pada hunian, transportasi, dan layanan pengasuhan. Pasar kerja gig menuntut jaring pengaman baru: asuransi kehilangan jam kerja jangka pendek yang otomatis aktif, disambungkan ke pelatihan singkat yang memberi keterampilan yang laku dalam hitungan minggu, bukan semester,” pungkas Achmad.
BACA JUGA:Prabowo Subianto kepada Guru Sekolah Rakyat: Pendidikan Adalah Kunci Memutus Rantai Kemiskinan
Kerugian Cukup Besar
Hal serupa juga turut diungkapkan oleh Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda.
Menurutnya, kerugian yang dialami oleh ekonomi Indonesia, khususnya Jabodetabek, cukup besar. Contohnya, sektor jasa turun cukup signifikan dalam dua-tiga hari terakhir.
“Sektor jasa ini berkontribusi sekitar 45 persen dari ekonomi nasional atau sekitar Rp. 9.900 triliun per tahun. Jika tiga hari dan yang terkena dampak 10 persen saja, maka kerugian bisa mencapai Rp 8-9 triliun secara ekonomi makro,” jelas Nailul.
Dengan kondisi seperti ini, Nailul menambahkan bahwa ada kemungkinan bahwa investor sektor riil juga akan mengurungkan niatnya untuk masuk ke Indonesia.
“Melihat kekacauan yang terjadi ditimbulkan dari sikap pemerintah yang acuh terhadap realitas masyarakat, saya yakin investor tidak akan percaya lagi. Akibatnya investor akan mengurungkan niat berinvestasi di Indonesia. Kecuali investor yang memang bagian dari oligarki pemerintah,” ujar Nailul.