Menjaga Kesehatan Mental di Era Digital

Jumat 10-10-2025,13:42 WIB
Oleh:

Kita perlu memulihkan “ruang sunyi akademik”: ruang untuk membaca tanpa tergesa, berdialog tanpa menghakimi, merenung tanpa cemas dilupakan algoritma.

Dalam McMindfulness: How Mindfulness Became the New Capitalist Spirituality (2019), Ronald Purser mengkritik bagaimana praktik spiritual di era digital sering direduksi menjadi teknik produktivitas  meditasi dijadikan alat efisiensi, bukan pemulihan moral.

Ini bahaya yang sama bisa terjadi pada dunia pendidikan: ketika kesejahteraan mental hanya dilihat sebagai “problem manajemen stres,” bukan refleksi krisis kemanusiaan.

Negara, dalam hal ini, juga memiliki tanggung jawab besar. Kesehatan mental adalah hak asasi, sebagaimana diakui WHO dan kini ditegaskan dalam Universal Health Coverage Agenda 2030. Tetapi kebijakan publik sering berhenti di hilir: pada pelayanan medis dan obat, bukan pada penyebab sosial seperti kesenjangan ekonomi, budaya kompetitif, dan isolasi digital.

Kita butuh kebijakan yang lebih integratif kebijakan yang menyentuh akar spiritual dan kultural masyarakat. 

Misalnya, mendorong komunitas berbasis nilai, memperkuat pendidikan karakter di kampus, dan menghidupkan budaya gotong royong digital saling menjaga di ruang maya seperti kita menjaga di dunia nyata. 

Sebagai rektor, saya melihat tanggung jawab ini mulai dari lingkungan kampus sendiri: memastikan setiap mahasiswa memiliki akses konseling, ruang ekspresi, dan suasana belajar yang menumbuhkan ketenangan batin. Ilmu harus menyehatkan, bukan menekan.

Dari Individu ke Bangsa: Menyembuhkan Jiwa Kolektif

Kesehatan mental bukan sekadar urusan individu, tapi cermin kondisi jiwa bangsa.

Ketika masyarakat dipenuhi kemarahan di media sosial, saling hujat karena perbedaan pandangan, itu tanda bahwa kita sedang mengalami kelelahan emosional kolektif. 

Sosiolog Zygmunt Bauman dalam Liquid Modernity (2000) menggambarkan masyarakat modern sebagai cair: semua serba cepat, identitas mudah larut, hubungan tak bertahan lama. 

Dalam kondisi itu, solidaritas melemah, kepercayaan publik menipis, dan kesepian menjadi epidemi baru.

Indonesia, dengan kekayaan religiusitas dan tradisi sosialnya, sebenarnya memiliki sumber daya moral untuk melawan krisis ini: nilai ukhuwah, gotong royong, dan tenggang rasa. 

Namun nilai-nilai itu kini perlu direvitalisasi dalam konteks digital: bagaimana menciptakan ruang daring yang teduh, bukan gaduh; ruang dialog, bukan debat.

 Kita perlu membangun spiritualitas digital — kesadaran bahwa teknologi hanyalah alat, bukan tuhan baru. Bahwa kecepatan tidak boleh menghapus keheningan, dan koneksi tidak boleh menggantikan kedekatan.

Dalam konteks kebangsaan, well-being (kesejahteraan) bukan hanya urusan ekonomi, tetapi urusan makna. Negara yang sejahtera bukan yang hanya makmur, tapi yang warganya merasa damai, berguna, dan berharga. 

Kategori :