JAKARTA, DISWAY.ID - Tudingan miring terhadap kebijakan Jaksa Agung ST Burhanuddin usai melakukan rotasi di lingkungan Kejaksaan RI.
Kebijakan itu dianggap abnormal dan politis karena beberapa pejabat yang belum lama dilantik kembali dipindah ke jabatan atau lingkungan baru.
Menanggapi hal tersebut, peneliti BRIN dan pakar hukum Universitas Nasional Ismail Rumadan mengatakan, kebijakan Jaksa Agung masih normal dalam koridor ketentuan aturan manajemen karier atau kepangkatan di lingkungan Kejaksaan RI.
“Yang perlu diingat, sejak Oktober lalu mutasi dan promosi itu menyasar ratusan pejabat, bukan satu dua orang saja. Artinya sudah pasti melalui tahapan perencanaan dan pertimbangan sesuai peraturan perundang-undangan,” kata Ismail, Jumat (28/11).
BACA JUGA:Jadwal Liga Inggris Pekan ke-13: Big Match Chelsea vs Arsenal, Ini Daftar Lengkap Pertandingannya!
Dia menjelaskan, ada banyak tujuan mutasi dan rotasi. Antara lain untuk penyegaran organisasi atau pegawai, pengisian kekosongan formasi jabatan, pemberian pengalaman kewilayahan bagi pegawai, peningkatan motivasi kinerja, termasuk pelaksanaan penghargaan atau sanksi.
“Kejaksaan itu lembaga besar yang sedang dipercaya publik, tidak mungkin merusak diri dengan melakukan rotasi serampangan atas dasar nepotisme atau perkoncoan,” jelasnya.
Terkait dengan beberapa pejabat yang kembali dimutasi, Ismail menegaskan Jaksa Agung selaku Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), juga sebagai Pejabat yang Berwenang (PYB), memiliki kewenangan melakukan itu meski kurang dari dua tahun dengan berbagai pertimbangan.
“Dari ratusan pejabat yang dilantik, berapa orang yang kembali dimutasi? Saya pikir sebagian kecil saja. Kalau dari jabatan wakil Kajati satu daerah dipindah ke jabatan yang sama di daerah lain apa masalahnya? Yang salah itu kalau pangkatnya tidak sesuai tapi dipaksakan,” tegasnya.
BACA JUGA:Katalog Promo JSM Indomaret Periode 28-30 November 2025, Kecap Manis-Gula Pasir Mulai Rp16 Ribuan
Ismail menyayangkan narasi sebagian pihak yang menyebut perombakan itu sebagai manuver ST Burhanuddin untuk mempertahankan jabatannya atau meningkatkan posisi tawar di mata suksesornya.
Ia menilai, anggapan itu terlalu jauh mengingat penggantian Jaksa Agung merupakan hak prerogatif presiden.
“Narasi buat bikin gaduh saja itu. Bagaimana jika yang terjadi sebaliknya, justru publik curiga tudingan semacam itu adalah manuver pihak berkepentingan untuk jatuhkan Jaksa Agung. Bisa saja kan,” ungkapnya.