JAKARTA, DISWAY.ID-- Selama bertahun-tahun, kasus kekerasan yang kerap kali menimpa perempuan dan anak-anak di Indonesia sudah menjadi momok menakutkan yang terus menghantui masyarakat.
Bahkan dalam kurun waktu tahun 2024-2025 ini, tingkat kasus kekerasan kepada anak dan perempuan sudah meningkat hingga ke angka yang mengkhawatirkan.
Dilansir dari data Dinas Pemberdayaan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DPPAPP) DKI Jakarta, tingkat kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jakarta pada 2025 sendiri telah mencapai 1.917 kasus.
Tidak hanya itu, hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2024 juga turut mengungkapkan bahwa setidaknya satu dari dua anak di Indonesia pernah mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan.
Dalam hal ini, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengungkapkan bahwa masih banyak perempuan dan anak korban kekerasan yang belum merasa aman untuk melapor.
"Hanya sebagian kecil yang tercatat dalam sistem pelayanan. Ini menunjukkan bahwa korban masih sulit bicara dan belum merasa aman untuk melapor," ucap Arifah.
Bukan tanpa alasan. Pasalnya, pelaku kasus kekerasan kepada anak sendiri kerap kali merupakan orang terdekat, bahkan keluarga korban sendiri, sehingga menyebabkan adanya relasi kuasa antara orang tua - anak.
Menurut Psikolog klinis dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI), Rini Hapsari Santosa, hal ini dapat mendorong frekuensi terjadinya konflik lebih sering dibandingkan kita dengan orang luar.
"Dalam konteks anak, terdapat relasi kuasa antara orang tua - anak. Anak berada dalam situasi tidak berdaya & bergantung sepenuhnya pada orang tua (untuk diasuh, dibimbing dan dilindungi). Tapi kalau orang tua atau orang dewasa di sekitar anak justru memiliki pola tingkah laku yg tidak sehat, maka anak juga yg pertama menjadi pihak yang terdampak," jelas Rini ketika dihubungi oleh Disway, pada Selasa 26 November 2025.
Relasi Kuasa Antara Orangtua dan Anak
Lebih lanjut, Rini juga turut menambahkan bahwa faktor lainnya adalah adanya relasi dan attachment dengan figur orang tua atau pengasuh sendiri juga merupakan sosialisasi pertama bagi seorang anak.
Oleh sebab itulah, hal ini dapat tumbuh menjadi akar dari banyak isu dan keluhan psikologis di kemudian hari saat anak semakin dewasa dan menghadapi kehidupan yang lebih kompleks dan abstrak.
"Seorang anak belajar memahami tentang kehidupan lewat orang terdekat. Saat orang terdekat melakukan kekerasan tentu tidak dapat terbentuk rasa aman yang stabil. Kehidupan dipersepsikan sebagai ancaman," jelasnya.
Kekerasan Terhadap Anak Sering Terjadi di Rumah
Sementara itu, Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jakarta hingga bulan November 2025 ini mencapai 1.917 kasus.
Kepala Dinas PPAPP DKI Jakarta Iin Mutmainnah merinci kasus yang paling mendominasi, yakni kekerasan seksual pada anak dengan 588 kasus atau 21,9 persen dan perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan 412 kasus atau 15,4 persen.
Adapun lokasi kejadian yang paling sering muncul juga memprihatinkan, yaitu 56 persen kasus terjadi di rumah dengan jumlah 1.132 kasus dan di jalan dengan 135 kasus atau 6,7 persen.
Lalu, di kos-kosan 126 kasus atau 6,3 persen, di sekolah sebanyak 119 kasus atau 5,9 persen, di kontrakan 88 kasus atau 4,4 persen, serta di hotel 86 kasus atau 4,3 persen
"Kurang lebih, sampai bulan ini (November 2025), ada 1.917 kasus. Trennya naik 10 persen dari 2024," kata Iin Mutmainnah.
Ia menilai, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sebelumnya terlihat rendah lantaran banyak korban tidak berani bersuara. Namun, saat ini para korban memiliki banyak kanal untuk bersuara.
"Artinya kesadaran masyarakat semakin berani mengungkapkan atau speak up. Ini menjadi sesuatu pengetahuan yang semakin meningkat di masyarakat untuk berani menyampaikan hal-hal yang mungkin terjadi atau dilihat di lapangan," jelas dia.
Peran Polri terhadap kekerasan anak
Kapusiknas Brigjen Pol Samsu Arifin mengatakan Polri telah membentuk kesatuan yang bernama Pusat Informasi Kriminal Nasional atau Pusiknas.
"Pusiknas mengemban tugas pokok membina dan menyelenggarakan pembinaan fungsi sistem informasi kriminal nasional," imbuhnya.
Pusiknas berada di bawah Bareskrim Polri, dan berlandaskan pada Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pencabutan Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 15 Tahun 2010 mengenai Penyelenggaraan Pusat Informasi Kriminal Nasional di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pusiknas Bareskrim Polri memiliki sistem Piknas, yang berfungsi mendukung kinerja Polri di bidang pengelolaan informasi kriminal berbasis teknologi informasi dan komunikasi, serta menyediakan pelayanan data kriminal baik internal dan eksternal Polri.
Tantangan yang Dihadapi Polri
Arifin mengatakan meskipun sudah banyak langkah yang diambil, Polri masih menghadapi berbagai tantangan dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
"Seperti stigma sosial, kurangnya pemahaman masyarakat, dan keterbatasan sumber daya menjadi beberapa hambatan signifikan. Oleh karena itu, diperlukan upaya kolektif dari seluruh elemen masyarakat untuk menanggulangi isu ini secara lebih efektif," imbuhnya.
Di era digital, Polri memanfaatkan teknologi dalam penanganan kasus kekerasan. Penggunaan sistem informasi dan aplikasi pelaporan berbasis online memudahkan korban dan masyarakat untuk melaporkan kejadian tanpa harus datang ke kantor polisi.
"Ini merupakan langkah inovatif yang membuat proses pelaporan lebih responsif dan efisien," paparnya.
Selain itu, Polri juga memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi dan meningkatkan kepedulian masyarakat.
Orang Terdekat Sering Jadi Pelaku Kekerasan Seksual Anak
Ketua Umum Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi, Novrian, membeberkan fakta mencengangkan terkait tingginya angka kekerasan seksual terhadap anak yang justru terjadi di dalam rumah.
Menurutnya, 64% pelaku adalah orang yang dikenal korban, mulai dari ayah kandung, saudara, hingga guru.
Fenomena ini kian memprihatinkan karena mayoritas kasus terjadi di keluarga menengah ke bawah, dengan faktor utama minimnya pendidikan nilai, paparan pornografi, dan lingkungan rumah yang tidak ramah anak.
"Sebagian besar kasus dilakukan oleh orang yang dikenal. Ada oknum ayah kandung, saudara kandung (incest), teman dekat, bahkan guru," ungkap Novrian ketika di hubungi disway.id pada Selasa, 25 November 2025.
"Paparan pornografi dari orang tua, rumah yang sempit, dan tidur bersama tanpa ruang privasi turut menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual," sambung dia.
Novrian menjelaskan bahwa hampir semua kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak terungkap atas inisiatif korban, melainkan akibat trigger dari pihak lain.
"Anak-anak itu takut mengungkap. Biasanya kasus terungkap bukan karena anak bercerita, tapi karena ada pemicu dari luar," jelasnya.
Contohnya, kasus yang baru terungkap setelah tante melihat tanda kehamilan, atau ketika kasus guru cabul viral di media sosial, sehingga korban lain mulai teridentifikasi.
Lebih memprihatinkan lagi, sebagian korban justru tidak dipercaya oleh keluarga, bahkan disalahkan. Lingkungan pun sering memberi stigma, membuat korban takut bicara.
"Masyarakat harus paham, korban bukan aib. Justru anak korban kekerasan seksual adalah pahlawan karena keberaniannya melapor akan memutus rantai kekerasan oleh predator," tegas Novrian.
Novrian mengingatkan bahwa kekerasan seksual terutama dalam lingkup keluarga meninggalkan dampak mengerikan.
Jika tidak segera dihentikan, kekerasan bisa berkembang menjadi kekerasan fisik, trauma jangka panjang, bahkan kehamilan akibat inses yang membawa risiko fisik dan mental bagi anak.
"Beberapa kasus inses menghasilkan anak dengan kekurangan fisik atau mental. Beban korban sangat berat," ucap dia.
Strategi Cegah Kekerasan Seksual Anak
Untuk mencegah dan menghentikan rantai kekerasan seksual, KPAD Bekasi menerapkan strategi komprehensif:
1. Pencegahan
KPAD melakukan edukasi masif kepada siswa, guru, dan orang tua mengenai bahaya kekerasan seksual, pornografi, bullying, dan game online.
“Anak-anak harus jadi pelopor dan pelapor, bukan hanya penonton,” ujar Novrian.
2. Deteksi Dini
Masyarakat didorong peka terhadap perubahan perilaku anak, tanda kekerasan, atau interaksi mencurigakan di lingkungan.
3. Respon Cepat
Ketika ada indikasi kekerasan, korban harus segera diamankan, pelaku dicegah kabur, dan potensi korban baru harus dihentikan.
4. Penanganan
Meliputi bantuan psikologis, hukum, hingga pendampingan sosial.
5. Rehabilitasi
Menurut Novrian, aspek ini masih kurang dan harus diperkuat.
“Kita perlu database korban, pemantauan, dan pendampingan jangka panjang agar mereka tidak kehilangan motivasi hidup atau melakukan tindakan menyimpang.”
KPAD menekankan pentingnya sistem pengamanan khusus (special guarding), seperti Guru tidak boleh berduaan dengan siswa di ruangan tertutup atau Pemisahan guru olahraga laki-laki dan perempuan untuk siswa usia remaja hingga adanya Aturan ketat interaksi dewasa–anak di semua instansi
"Kejahatan itu bukan hanya karena niat, tapi karena kesempatan. Kesempatan itu yang harus kita tutup," tekannya.
Pentingnya Sex Education
Banyak masyarakat salah paham mengenai sex education, padahal yang diajarkan justru.
Menurut Novrian, pendidikan ini tak hanya untuk anak, tetapi sangat penting bagi orang tua.
"Orang tua adalah madrasah pertama. Banyak kekerasan dan bullying di sekolah berasal dari pola asuh keliru di rumah," terang dia.
Ia menegaskan bahwa peran ayah sebagai pembentuk disiplin, kemandirian, keberanian, dan kejujuran yang harus lebih hadir.
"Anak sering menganggap ayah hanya pencari nafkah. Padahal karakter utama anak dibentuk oleh ayah," tegas dia.
KPAD Bekasi menegaskan bahwa perlindungan anak bukan hanya tugas lembaga, tetapi tanggung jawab bersama: keluarga, sekolah, lingkungan, dan masyarakat.
"Stop stigma. Dukung korban. Mereka bukan aib mereka pahlawan," tutup Novrian.
Negara Hadir Pastikan Perlindungan dan Pengaduan Kekerasan
Dalam upaya berkelanjutan untuk menjamin perlindungan bagi kelompok rentan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) kembali menegaskan komitmennya untuk memastikan layanan pengaduan kekerasan terhadap perempuan dan anak beroperasi secara aman dan dapat diakses kapanpun.
Layanan yang menjadi ujung tombak kehadiran negara ini dikenal dengan nama Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129.
Komitmen ini bukan hanya sebatas pernyataan, tetapi diwujudkan melalui sistem yang terintegrasi dan multi-kanal. KemenPPPA menyadari bahwa korban kekerasan sering kali menghadapi kesulitan psikologis dan ancaman saat hendak melaporkan, sehingga kerahasiaan dan kemudahan akses menjadi kunci utama.
SAPA 129: Tiga Pilihan Jalan Menuju Bantuan
KemenPPPA melalui Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Irjen Pol (Purn) Desy Andriani memastikan akses pelaporan kekerasan terhadap anak dan perempuan sangat luas dan bisa diakses melalui ponsel.
"Ada kanal untuk bisa berbicara. Bisa melalui WhatsApp, call center, dan juga bisa datang langsung, dilayari langsung, khusus untuk itu," ujar Desy saat dihubungi oleh Disway, Jumat 28 November 2025.
"Juga persutahan yang nampaknya bisa ikut disposisi, masuk itu. Terakhir kemarin, beberapa bulan yang lalu, kita launching berbasis website. Itu upaya-upaya yang kita lakukan oleh pemerintah, biar juga masyarakat tahu bahwa kita melakukan hal tersebut," tambahnya.
Layanan SAPA 129 dirancang untuk memberi fleksibilitas kepada pelaporbaik korban, keluarga, maupun masyarakat yang menyaksikan—agar dapat bersuara tanpa rasa takut dan tertekan.
- Hotline 129: Kanal ini memungkinkan pelapor untuk berbicara langsung dengan petugas yang terlatih, memastikan respons cepat dan dukungan emosional segera diberikan.
- WhatsApp 08-111-129-129: Bagi mereka yang merasa lebih nyaman untuk berkomunikasi melalui teks atau kesulitan untuk menelepon, kanal WhatsApp memberikan alternatif yang cepat dan santai.
- Form Pengaduan Online: Saluran ini selalu tersedia, memungkinkan pelapor untuk mengisi data secara terperinci kapan saja, tanpa harus berinteraksi langsung. Ini sangat membantu bagi mereka yang ingin melaporkan insiden tanpa diketahui orang lain.*
Reporter: Bianca Khairunnisa, Anisha Aprilia, Hasyim Ashari, Dimas Rafi