Gus Dur berpolitik dengan kelincahan manuver personal, mengedepankan etika dan kemanusiaan di atas segalanya. Gus Yahya, sebaliknya, mencoba membangun "mesin peradaban" yang kokoh melalui birokrasi organisasi.
BACA JUGA:Ihwal Tafsir Peraturan, Kuasa, dan Sebuah Jalan Tengah
Perbedaannya terletak pada substansi: Gus Dur fokus pada nilai kemanusiaan universal, sementara langkah Gus Yahya membawa gerbong nahdliyin saat ini seakan terjebak dalam pragmatisme ekonomi yang menafikkan warisan etis tersebut.
Sebab, keputusan menerima tambang, bagi banyak pihak, adalah bentuk pengkhianatan terhadap khittah moral Gus Dur, menjadikan klaim "menghidupkan Gus Dur" terdengar seperti sekadar retorika yang berjarak dari tindakan nyata.
Gus Dur adalah budayawan dan humanis yang menolak komersialisasi sumber daya alam secara membabi buta; langkah PBNU saat ini, dengan segala bantalannya, tampak berjalan di arah yang berlawanan.
Mungkin saja buku "Menghidupkan Gus Dur" telah berhasil secara naratif, tetapi realitas politik Gus Yahya, terutama terkait isu tambang, menjadi antitesis dari apa yang ia coba hidupkan.
Gus Dur adalah tentang perlawanan terhadap ketidakadilan struktural; Gus Yahya, dalam isu ini, seolah menjadi bagian dari struktur itu sendiri. Inilah tragedi dari sebuah warisan: dihidupkan namanya, tapi dilupakan ruh perjuangannya. Wallahu'alam bishawab. (*)
*) Aguk Irawan MN, Pengasuh Ponpes Baitul Kilmah Yogyakarta