Takut berubah-ubah. Karena itu saya tidak segera menuliskannya. Biar pun Presiden Donald Trump sudah bikin 'pertunjukan' besar lagi di Osaka Minggu lalu.
Tak disangka secepat ini. Trump kini mengizinkan perusahaan Amerika kembali memasok barang ke Huawei. Yang perusahaan-perusahaan tersebut sempat kehilangan omset puluhan triliun rupiah.
Trump juga membatalkan eskalasi. Dengan cara tidak jadi memungut bea masuk seluruh barang Tiongkok. Tapi Trump juga tidak mencabut sanksi tahun lalu: dua kali menaikkan tarif untuk golongan barang tertentu sampai 25 persen itu.
KTT G20 pun berakhir.
Sampai Trump meninggalkan G20 di Osaka tidak ada perubahan. Berarti kedelai tidak jadi tempe. Termasuk Trump tetap pada putusan untuk memulai kembali perundingan dagang dengan Tiongkok itu.
Tiongkok tidak bisa dibilang menang. Hanya tidak lebih kalah.
Huawei-lah yang menang selangkah. Dari kekalahanya tiga langkah tahun lalu.
Perusahaan Amerika seperti Qualcomm dkk juga tertolong. Bukan menang. Kembali bisa jualan chips ke Huawei: pembeli terbesarnya.
Sejak tahun lalu Qualcomm dkk seperti naik roller coaster. Saham mereka terguncang-guncang oleh tweet Trump. Kadang harga sahamnya jatuh sampai 7 persen. Kadang naik lagi 3 persen. Turun lagi dan naik lagi.
Perusahaan-perusahaan teknologi tinggi AS itu dibuat babak belur oleh presidennya sendiri.
Kalau saja ada orang tahu Trump akan bicara apa di Twitter-nya, ia bisa kaya raya. Mendadak. Tidak harus berkeringat. Borong saham saat harga jatuh. Tahan dulu. Tunggu tweet berikutnya. Yang kadang memberi harapan. Yang sering juga harapan palsu.
Lalu, apa hasil G20 Osaka?
Trump mendapat banyak pujian. Hanya itu. Hasil lainnya tenggelam di balik teater Trump.
Seperti tahun lalu juga. Saat G20 dilaksanakan di Argentina. Total tenggelam oleh panggung Trump.
Panggung itu berlanjut sehari kemudian. Hanya settingnya yang berubah: Korea.
Hebatnya Trump hanya menggunakan Twitter. Untuk mengundang pemimpin Korut, Kim Jong-Un. "Saya tahu Kim Jong-Un mengikuti Twitter saya," ujar Trump pada media internasional. Yang jadi sumber tulisan ini.
Isi Twitter itu adalah: harapannya untuk bisa bertemu Kim Jong-Un di Pamunjom. Di garis perbatasan Korea Utara dan Selatan.
Ternyata benar-benar kejadian. Trump bertemu Kim. Trump berdiri di selatan garis. Kim berdiri di utara garis. Garis itu terbuat dari beton. Mirip slop bangunan.
Adegan berikutnya anda sudah tahu: keduanya bersalaman. Dengan raut wajah seperti kangen. Setelah pertemuan kedua yang cuget-cugetan di Vietnam Februari lalu.
Saat bersalaman itulah tiba-tiba Kim mengundang Trump untuk melangkahi penanda batas. Jadilah Trump secara resmi disebut sudah pernah datang ke Korea Utara.
Di sini Presiden Xi Jinping bisa dibilang menang. Minggu lalu ia ke Pyongyang. Xi menyatakan tetap akan menjadi sahabat Korut. Juga akan membantu penuh pembangunan ekonominya. Dengan cara berusaha mencabut sanksi internasional. Juga akan mendorong Amerika untuk mau kembali bertemu Kim.
Harapan Kim sangat besar. Agar sanksi itu dicabut. Ia bisa menerima kalau pencabutannya bertahap. Asal tahapan itu bisa segera dilakukan.
Kim merasa sudah melakukan banyak langkah menuju pengakhiran senjata nuklir. Tentu tidak bisa sekaligus. Tapi mbok ya sanksinya juga diperingan. Misalnya: mulai boleh ekspor batubara.
Itulah kondisi yang bisa saya serap saat ke Korut tahun lalu. Yang saya juga sampai di Pamunjom. Untuk kedua kalinya.
Trump pun memberikan harapan itu. Tinggal kita tunggu apakah kedelainya tidak keburu menjadi tempe.
Siapa yang kalah?
Tentu para penggemar perang. Terutama yang di lingkungan Trump. Mereka sangat tidak suka dengan langkah baru Trump ini. John Bolton, misalnya. Penasihat keamanan nasional Trump itu. Minggu lalu itu ia 'kalah' dua kali.
Kalah di Korea Utara.
Kalah pula di Iran.
Hanya di Iran Bolton dapat hadiah hiburan. Amerika menjatuhkan sanksi baru: memblokir seluruh aset Ayatullah Khamenei di Amerika.
Emangnya Ayatullah Khamenei punya aset di Amerika? Bahkan apakah ia punya aset?
Itu tidak penting.
Namanya hiburan.
Komentar Ayatullah sendiri tidak ganas. "Amerika memang mengajak kami berunding," ujarnya seperti dikatakan Menlunya.
Tapi, katanya, apakah itu bisa disebut berunding. Kalau Amerika sambil memegang senjata terbaiknya. Dan kami tidak boleh membawa senjata apa pun.
Teater Trump masih belum mendekati The End. Setidaknya sampai incumbent itu menang lagi.(Dahlan Iskan)