Ini tidak penting. Juga tidak menarik. Apalagi juga tidak menyangkut nasib kita sama sekali. Tapi setahun sekali saya ingin menulis yang beginian. Bukan untuk dibaca. Tapi hanya untuk ditulis.
Bahwa pesta bisa membawa bencana.
Bahwa semangat bisa juga menjerumuskan.
Bahwa di atas angin ada angin yang lebih besar.
Contohnya ini yang terlalu jauh: Deutsche Bank. Bank terbesar di Jerman. Salah satu yang terbesar di dunia.
Empat tahun terakhir rugi terus. Ganti CEO terus.
Untuk mengatasi keadaannya yang terus memburuk. Begitu sering ganti CEO. Empat kali dalam empat tahun.
CEO yang sekarang, Christian Sewing, sudah pula kehilangan waktu 1,5 tahun. Usahanya belum berhasil.
Saat diangkat April tahun lalu Christian sebenarnya sudah punya jalan keluar: Deutsche Bank pasti bisa diselamatkan.
Sesakit-sakit Deutsche Bank tetaplah bank raksasa. Sakitnya orang kaya raya. Uangnya masih sangat banyak. Pun kalau tidak nama dan reputasinya tetap besar.
Christian menggunakan kekuatan itu untuk menemukan jalan pintas: beli saja bank yang sangat besar dan masih baik. Sekaligus seperti menemukan pedang bermata dua: bisa memperbaiki tampilan Deutsche Bank sekaligus memperbesarnya.
Setahun lebih pembicaraan merger itu dilakukan. Yang diincar adalah Commerzebank AG.
Bank nomor dua terbesar di Jerman.
Yang asetnya 462 miliar Euro. Atau hampir Rp 5 ribu triliun.
Yang umurnya sudah 149 tahun. Hanya setahun lebih muda dari Deutsche Bank sendiri.
Yang labanya tahun lalu 1,2 miliar Euro.
Yang punya cabang di 50 negara. Dengan nasabah 20 juta.
Ide merger ini luar biasa bagusnya.
Tapi gagal.
Hampir 90 persen karyawan Commerzebank menentang.
30.000 terancam PHK.
Risiko terlalu besar. Biaya merger juga lebih memberatkan.
Setahun lebih waktu terbuang.
Kemerosotan Deutsche Bank kian dalam.
Akhirnya...
Lupakan Commerzebank AG. Yang juga pernah kena denda 1,2 miliar Euro. Atau sekitar Rp 20 triliun. Lantaran ketahuan dipakai cuci uang Iran, Sudan dan Myanmar.
Pembicaraan merger dengan Commerzebank AG hanya membuang lebih banyak waktu.
Tapi tidak melakukan apa pun juga buruk. Apalagi menunda-nundanya.
Minggu lalu Christian membuat putusan baru. Yang akan didetailkan minggu ini. Dan akan langsung dilaksanakan: melakukan restrukturisasi besar-besaran. Banyak cabang besar yang akan ditutup. Termasuk yang di Dubai dan Johannesburg. Atau di tempat lain. Yang akan terkena PHK sekitar 20.000 orang.
Tapi tidak ada jalan lain.
Harga sahamnya sudah 80 persen merosot.
Tidak ada jalan lain.
Ini bukan salah Christian. Yang kini berumur 49 tahun. Yang sejak lulus Frankfurt School of Finance and Management langsung bekerja di bank itu.
Yang hobinya hanya tenis. Itu pun tidak banyak kesempatan untuk melakukannya. Permainan yang lain pun mungkin juga jarang. Di umurnya yang hampir 50 tahun keluarga ini tanpa anak.
Ini kesalahan 10 tahun lalu.
Juga 15 tahun lahu.
Pun 20 tahun lalu.
Diawali dari krisis keuangan dunia 2008. Yang sangat memukul Deutsche Bank. Pukulan itu membuatnya tidak pernah bisa tegak kembali. Sampai sekarang.
Mungkin awalnya bukan itu.
Sebelum krisis terjadi, Deutsche Bank memang lagi gendut. Baru saja ekspansi besar-besaran. Sangat klasik: terlalu cepat menambah karyawan. Dengan gaji yang lebih tinggi. Terlalu cepat mengembangkan organisasi: kontrolnya lantas melemah.
Sampai dua kali Deutsche Bank terkena denda. Nilainya mencapai 7,2 miliar dolar. Hampir Rp 100 triliun. Itu karena ketahuan: dipakai tempat cuci uang Rusia. Juga karena salah dalam menangani morgate di Amerika.
Pun mungkin juga bukan karena terlambat diet itu. Langkah ekspansi Deutsche Bank sendiri dipicu oleh semangat yang menggebu. Terpengaruh sukses besar 3 tahun sebelumnya. Sukses besar yang menghasilkan bonus besar.
Yakni setelah Deutsche Bank berhasil membeli salah satu bank terbesar di New York: Bankers Trust.
Wallstreet pun heboh.
Pesta besar pun diadakan menyambut keberhasilan itu. Pesta di New York. Pun di Frankfurt.
Transaksi ini melambungkan nama Edson Mitchell. Berkat Mitchel-lah Deutsche Bank jadi buah bibir dunia. Raksasa Jerman telah tiba. Siap menguasai dunia.
Edson Mitchell menjadi CEO Deutsche Bank.
Sebelum pindah ke Deutsche Bank, Mitchel memang sudah ahli keuangan. Ia menjabat eksekutif di Marrill Lynch -- salah satu perusahaan keuangan terbaik di dunia.
Edson Mitchell asli Maine -- negara bagian paling pojok timur laut Amerika. Berbatasan dengan Kanada. Ia lahir di Maine. Tinggal di Maine. Mendapat istri juga orang Maine. Namanya Suzan. Teman SMA-nya di Maine. Mereka tinggal di satu kota bernama Portland. Kota pantai yang latar belakangnya pegunungan indah.
Meski juga punya rumah di London hidupnya lebih banyak di Maine.
Di kampungnya itulah istrinya kerasan. Bersama empat anak mereka.
Tapi jabatan Mitchel terus naik. Kian tinggi. Sukses besarnya di Deutsche Bank membuat Mitchel harus pindah ke pusat keuangan dunia Eropa, London.
Sang istri, Suzan, tidak mau ikut pindah. Dengan usia 48 tahun dan dengan empat anak sang istri pilih tetap tinggal di Portland. Mitchel-lah yang harus sering pulang.
Saya tidak tahu seberapa menarik Kota Portland. Sampai Suzan tidak mau ikut ke London. Saya sudah beberapa kali ke Portland tapi bukan yang ini. Portland yang saya kunjungi minggu lalu adalah yang di negara bagian Oregon. (Lihat DI's Way:Minggat Lagi).
Nama kota terbesar di Oregon ini sengaja menggunakan nama kota terbesar di negara bagian Maine. Portland yang di Maine sudah ada sejak tahun 1630. Portland yang di Oregon baru 200 tahun sesudahnya: 1845.
Portland tua letaknya di timur. Menghadap ke timur. Di Pantai Atlantik. Portland muda ada di barat. Menghadap ke barat. Di Pantai Pasifik.
Maine adalah satu-satunya negara bagian yang saya tidak tahu. Belum pernah ke sana. Hanya buku-buku menyebutkan Portland adalah kota pelabuhan istimewa. Musim salju pun air di pelabuhannya tidak membeku. Mirip pelabuhan Dalian di Liaoning, RRT. Kegiatan ekspor tetap berjalan di musim salju. Pun barang Kanada banyak diekspor dari sini di musim winter. Dekat sekali.
Portland-nya Suzan ini juga terpilih sebagai kota di Amerika yang terbanyak punya restoran. Lobsternya paling terkenal.
Tentu bukan karena lobster itu Suzan tidak mau ikut ke London. Mitchel berangkat ke London sendirian. Tinggal di London sendirian.
Di London itulah. Mitchel kecantol wanita Prancis. Yang umurnya baru melewati 30 tahun.
Suzan akhirnya juga tahu itu. Dia merasa ada yang aneh pada diri suaminya. Di acara-acara besar Deutsbank juga sering diajak serta.
Suatu hari sang istri terbang melintasi lautan Atlantik: ke London. Tanpa memberi tahu suami. Ketahuanlah suaminya bersama wanita Prancis itu.
Sang istri langsung balik ke bandara London. Terbang kembali ke Portland.
Bertengkar.
Suzan sampai mengajukan ide bercerai.
Beberapa waktu kemudian Mitchel ingin pulang ke istrinya itu. Untuk merayakan Natal. Dan tahun baru. Ia terbang ke Amerika. Lalu dengan pesawat pribadinya terbang ke Portland. Sendirian. Hanya dengan pilot.
Hari itu Jumat 22 Desember. Sudah dalam suasana Natal. Jam 17.00 sore. Sudah sangat gelap untuk musim winter. Bersalju pula.
Pesawatnya jatuh di pegunungan dekat Portland.
Pilotnya meninggal.
Edson Mitchell juga.(Dahlan Iskan)