UAS dan Pergeseran Konservatif Islam di Indonesia dari Kacamata Barry Desker

Kamis 26-05-2022,06:58 WIB
Reporter : Syaiful Amri
Editor : Syaiful Amri

Pesan Abdul Somad menarik bagi mereka karena ia eksklusif dan fokus pada interpretasi literal dari Alquran dan hadits (perkataan Nabi). 

UAS telah melabeli non-Muslim sebagai kafir (kafir) dan berkhotbah bahwa Muslim tidak boleh menerima non-Muslim sebagai pemimpin mereka. 

“UAS mencerminkan pergeseran konservatif dalam Islam Indonesia sebagai akibat dari pengaruh tumbuhnya pengaruh Saudi dan Timur Tengah,” pendapat Barry Desker.

Tumbuhnya Pengaruh Timur Tengah

Ledakan petrodollar Arab Saudi pada 1970-an, dan tantangan politik yang muncul dari revolusi Iran 1979 dan ketakutan bahwa otoritas Teheran akan mengekspor Islam Syiah, menyebabkan Arab Saudi menjadi pengaruh besar dalam ekspor doktrin Wahhabi di Asia Tenggara. 

“Sebagai seseorang yang pernah tinggal di di Jakarta pada tahun 1970-an, diikuti oleh penugasan kedua dari tahun 1986 hingga 1993 dan kunjungan rutin setelahnya, saya melihat perbedaan yang dihasilkan oleh pendanaan Saudi dan Teluk di Indonesia selama 40 tahun terakhir,” terang Barry Desker.

Sejak kemerdekaan, organisasi Muslim Indonesia yang dominan adalah Nahdlatul Ulama (Persatuan Ulama) dan Muhammadiyah. 

NU tradisionalis, konservatif dan berbasis di jantung pedesaan Jawa. Muhammadiyah adalah modernis, inovatif dan berbasis perkotaan, dengan dukungan kuat di kota-kota dan di pulau-pulau terluar Indonesia.

Saat ini, NU mempertahankan pengaruhnya di dalam pemerintahan dan masyarakat Indonesia melalui sikap akomodasinya, pendekatan inklusif, toleran, dan munculnya generasi muda pemikir Muslim yang inovatif dalam kepemimpinan intelektualnya.

Muhammadiyah mempertahankan komitmen terhadap reformasi agama dan keadilan sosial dalam kerangka Indonesia yang pada dasarnya sekuler dan multi-agama. Mereka memiliki jaringan madrasah dan universitas di seluruh Indonesia dan memiliki strategi lama untuk tidak terlibat langsung dalam kegiatan politik.

Namun, perbedaan mencolok sejak tahun 1980-an terletak pada dukungan keuangan yang diberikan oleh pemerintah Saudi, organisasi non-pemerintah yang kaya, dan individu di negara-negara Teluk dan organisasi seperti Liga Muslim Dunia yang berbasis di Jeddah. 

“Dana mereka disalurkan ke kelompok dan individu yang menganjurkan pendekatan yang lebih fundamentalis terhadap doktrin agama dan paling mendukung pendirian negara Islam,” imbuh Barry Desker. 

“Dalam kunjungan ke luar Jakarta, saya mengamati bahwa masjid-masjid yang dibiayai Saudi yang dipimpin oleh para ustadz yang pernah mengenyam pendidikan di Arab Saudi itu baru dibangun dan memiliki fasilitas yang sangat baik,” imbuhnya. 

Madrasah memberikan beasiswa ke Arab Saudi dan menyambut para penceramah yang mengadvokasi doktrin Wahhabi. Sebaliknya, pesantren NU (pondok pesantren) mengandalkan dukungan masyarakat dan tidak memiliki sumbangan keuangan dari masjid-masjid yang berafiliasi dengan Saudi.

Dampak Timur Tengah terlihat melalui penekanan para da'i binaan Saudi pada interpretasi literal Alquran, penggunaan busana muslim khas yang dipengaruhi gaya busana Arab dan kritik terhadap interaksi dengan penganut tradisi agama lain di Indonesia.

Tantangan Indonesia

Kategori :