Tiga bersaudara ini wartawan semua. Yang dua meninggal karena olahraga. Tahun lalu si kakak meninggal saat ikut maraton di Surabaya (baca juga: Jantung Maraton). Jumat kemarin, giliran Hadi Mustofa, sang adik. Ia meninggal saat berolahraga naik sepeda.
Ups... bukan tiga. Tapi empat. Yang satu lagi bukan wartawan: Helmy Nashor. Tapi juga meninggal ketika baru selesai berolahraga: main tenis. Helmy adalah anak sulung. Pegawai Perhutani. Meninggal empat tahun lalu.
Dari empat laki-laki itu kini tinggal Dimam Abror yang masih hidup. Abror juga gila olahraga: sepak bola. Pun ketika sudah berumur. Maka Sabtu pagi kemarin saya kirim WA kepadanya: Mas Abror tidak boleh meninggal muda. Untunglah Abror sudah berhenti main bola: dicekal istri dan anak-anaknya.
Abror adalah pemimpin redaksi Jawa Pos di masa mudanya. Khusnun, yang meninggal saat ikut maraton itu, pemimpin redaksi Malang Pos di masa hidupnya. Hadi Mustofa yang meninggal Jumat kemarin adalah wartawan Republika. Lalu menjadi pemimpin redaksi juga: majalah BUMN Track.
Ketika majalah itu maju, Hadi mundur. Ia mendirikan majalah baru: BUMN Insight.
Sayalah yang diminta untuk meluncurkan edisi pertama majalah itu. Saya terlalu sering minta tolong Hadi. Gratisan. Termasuk untuk membaca ulang setiap tulisan saya. Waktu itu. Yakni tulisan seminggu sekali dengan nama rubrik Manufacturing Hope.
Biasanya saya malas membaca ulang naskah yang saya tulis. Alasan saya klasik: sibuk.
Saya terlalu percaya pada jempol penekan keyboard di layar ponsel. Hadi melihat tulisan saya sering salah eja. Gegara kritiknya itu saya menawarinya pekerjaan suka rela membaca ulang naskah saya itu.
Hadi pun mau. Maka Hadi-lah yang memperbaiki kalau ada yang salah-salah atau typo. Seminggu sekali. Selama tiga tahun. Suatu saat Hadi datang ke saya menyodorkan buku. Ia-lah yang menulis buku itu. Masih dalam bentuk draft. Ia minta agar saya mau menulis kata pengantar untuk buku itu.
Saya lihat covernya: foto Ignatius Jonan, (kala itu) direktur utama PT Kereta Api Indonesia.
Saya ingat foto itu. Suatu saat Jonan memperlihatkan foto wajahnya pada saya. Untuk dinilai.
"Apakah seperti ini?" tanya Jonan.
"Kurang," jawab saya.
Sebelum itu saya memang sering bercanda dengan Jonan. Canda serius. "Anda ini sudah menjadi seorang CEO. Harus bisa tersenyum," kata saya. "Kalau masih menjadi CFO boleh tidak pernah tersenyum. Tapi sekarang ini kan Anda CEO," gurau saya.
Rupanya, setelah itu, Jonan mulai belajar tersenyum. Lalu difoto. Foto itulah yang ditunjukkan pada saya. Tapi senyumnya masih belum natural.
Foto berikutnya luar biasa. Jonan bisa tersenyum yang sangat benar. Saya pun memujinya –sambil menyarankan agar lebih sering tersenyum seperti itu. "Agar kelak bisa menjadi orang lebih besar lagi," kata saya.
Rupanya foto itu yang kemudian menjadi sampul buku yang dibawa Hadi Mustofa tersebut. Maka saya pun langsung setuju: foto ini bagus. Hadi pun memperoleh kata pengantar dari saya.
Tentu Anda tidak bisa membayangkan kalau belum membeli buku itu. Yakni buku tentang bagaimana Jonan melakukan revolusi kereta api di Indonesia. Jonan akhirnya menjadi Menteri Perhubungan. Lantas menjadi Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral.
Hadi sangat memuji kepemimpinan Jonan. Saya setuju atas sikap Hadi itu. Yang tidak saya sangka: Hadi lantas menjadi staf khusus Jonan. Saya lihat ia mengenakan pakaian dinas Kementerian Perhubungan. Necis dan ganteng.
Ketika Jonan menjadi Menteri ESDM, Hadi pun tetap menjadi staf khususnya. Jonan sangat terbantu oleh Hadi. Yang punya pembawaan mudah berkomunikasi dengan banyak kalangan.
Seperti umumnya wartawan yang sukses, logika berpikir Hadi sangat baik. Ia juga sosok yang sangat tawadhu. Ia seperti NU mesti ayahnya tokoh Muhammadiyah, Kiai Djuraid Mahfud.
Setelah Jonan tidak lagi di kabinet, Hadi masih menjabat sebagai komisaris PT Pertagas. Yakni anak perusahaan Pertamina yang bergerak di bidang gas. Hadi juga punya waktu lebih banyak untuk olahraga. Sejak setahun lalu ia mencoba bersepeda.
Jumat kemarin Hadi ingin menggabungkan pekerjaan dengan olahraga. Pagi itu ada rapat di Balai Pustaka. Penerbit buku itu kantornya di Matraman. Sedang rumah Hadi di Depok.
Malam sebelumnya Hadi memberitahu Ima, istrinya. Untuk rapat di Balai Pustaka Jumat pagi ia akan naik sepeda saja. Dari rumahnya.
Sang istri mengingatkan jarak Depok–Matraman itu jauh. Sang istri lantas membuka Google Map: 36 Km. Tapi Hadi berkeras. Selesai rapat ia langsung naik sepeda lagi untuk pulang. Berarti 72 Km.
Sampailah jembatan dekat UI di Depok itu. Tidak jauh dari jembatan itu ia terjatuh. Badannya tergeletak di pinggir jalan. Lokasi jatuh itu tepat di depan sebuah warung.
Tidak ada yang berani mendekat. Musim Covid-19 membuat orang takut mendekati apa pun yang mencurigakan.
Dipanggillah polisi. Lalu ambulans. Hadi sudah meninggal dunia. Di usianya yang 55 tahun.
Ia kena serangan jantung. Rupanya ia baru menanjak di jembatan itu. Setelah jalan menuruni jembatan jantungnya tidak kuat.
Kini, dari 4 laki-laki bersaudara, tinggal Abror yang masih hidup. Sedang tiga perempuan di 7 bersaudara itu yang seorang juga sudah meninggal dunia. Kini Abror 57 tahun. Sangat disiplin berolahraga.
Mereka sangat sadar berolahraga. Semuanya. Mereka sangat tahu olahragalah yang akan menjadi jalan keluar problem kesehatan seluruh keluarga itu: diabetes.
Gula darah itu menurun dari ibu mereka. Karena itu empat laki-laki bersaudara itu juga sangat disiplin menjaga makanan. Mereka sudah lama tidak makan nasi. Mereka juga sangat disiplin dalam ibadah: salat tepat waktu.
Mereka memang keluarga intelektual. Pendidikan mereka tinggi-tinggi. Kehidupan sehari-hari mereka pun kehidupan intelektual. "Rupanya kami menjalani disiplin itu terlalu ketat. Termasuk olahraga kami mungkin berlebihan," komentar Abror atas WA saya padanya.
Abror pernah bergabung ke klub senam saya. Sudah mulai asyik. Tapi belakangan tidak pernah datang lagi. Sibuk di politik. Baginya olahraga itu hanya lari atau sepakbola. Abror-lah pendiri klub sepak bola Askring di lingkungan wartawan: Asal Kringetan.
Saya hanya bisa membaca beritanya ketika Hadi dimakamkan. Maafkan Hadi, saya tidak bisa ke Jakarta. Tapi, saya lihat foto-foto pemakaman itu, ada Jonan di sana. (*)