Jantung Arizona

Sabtu 07-11-2020,04:00 WIB
Oleh: Dahlan Iskan

MESKI kian tersudut Presiden Donald Trump masih terus menyerang. Setidaknya lewat Twitter. Dibantu serangan tambahan oleh dua anak laki-lakinya. Juga lewat Twitter. Didukung oleh beberapa medsos dari aliran kanan.

Medsos aliran kanan itu terus memproduksi teori konspirasi. Follower mereka memang tidak banyak. Tapi kelihatannya tugas mereka memang hanya memproduksi isu. Soal perluasan penyebarannya bisa menjadi semacam tugas dua anak Trump itu. Yang follower-nya memang jutaan. Dengan cara me-retweet-kannya.

Tapi Twitter, sebagai media, kini punya sikap baru: Twitter tidak mau jadi sarana untuk menyebar kebohongan dan kebencian.

Twitter telah melakukan seleksi. Termasuk menyertakan pengecekan terhadap isi tweet Trump: sesuai dengan fakta atau tidak.

Menurut pengecekan Twitter, isi tweet atau retweet Trump itu 39 persen mengandung penyesatan informasi.

Maka kemarin sore Trump terlihat jengkel atas sikap Twitter itu.

Tapi kejengkelan terbesar Trump justru pada Fox News –stasiun TV yang selama ini membelanya. Itulah stasiun TV yang mati-matian di belakang Trump.

Tapi ketika Trump bangun tidur –sehari setelah Pemilu–  ia lihat Fox News telah menggedor jantungnya dengan pukulan Tyson: Arizona dimenangkan oleh Joe Biden.

Hanya Fox News, stasiun TV yang menyiarkannya. CNN-pun –yang selalu dinilai anti-Trump– belum berani menyimpulkan itu. Pun sampai tadi malam.

Harian-harian utama yang selama ini dinilai anti-Trump –seperti New York Times dan Washington Post– juga belum berani menyimpulkan Arizona dimenangkan Biden.

Fox News dalam hal ini seirama dengan kantor berita AP (Associated Press). AP juga menghitung perolehan suara Biden di Arizona sudah tidak bisa dikejar. Biar pun masih ada suara yang belum dihitung. Fox News dan AP melihat, yang belum dihitung itu justru suara dari Phoenix dan sekitarnya. Yang justru diperkirakan akan memperlebar kemenangan Biden.

Tapi Trump punya teori sendiri. Yang belum dihitung itu adalah suara dari Navajo Nation –yakni ''negara dalam negara'' yang letaknya di pedalaman Arizona. Itu adalah wilayah suku asli Indian. Yang boleh punya hukum sendiri. Yang surat suara mereka belum tiba di TPS –lantaran jauh di pegunungan.

Maka, Trump sampai menelepon pemilik Fox News. Tidak diberitakan apakah telepon itu diterima oleh Rupet Murdoch dan bagaimana isi kemarahannya.

Sememihak-mihaknya Fox News, kaidah jurnalistik harus dipenuhi. Termasuk kebanggaan jurnalistik kalau bisa menjadi ''yang pertama'' menyiarkannya. Sedang CNN –mungkin karena sudah ketinggalan– memilih ''hati-hati lebih penting dari yang pertama''.

Dengan kemenangan di Arizona berarti kemenangan Biden di depan mata. Itulah yang membuat marah Trump. Belum lagi ia merasa Arizona adalah basis kemenangannya 4 tahun lalu.

Tapi ia lupa sebagian orang Arizona marah padanya. Yakni ketika Trump selalu melecehkan tokoh politik Arizona dari kubu Republik sendiri: John McCain. ''Ia bukan pahlawan.'' kata Trump. Itu gara-gara di perang Vietnam McCain tertangkap dan dimasukkan penjara.

Tentu Trump membayangkan pahlawan Amerika itu harus seperti Rambo. Yang sesulit apa pun bisa lolos di Vietnam.

Dengan menang di Arizona itu Biden sudah mendapat 264 ''kursi''. Tepatnya: 264 paket. Untuk menang –dan menjadi presiden– diperlukan setidaknya mendapat 270 ''kursi''. Berarti Biden tinggal perlu 6 ''kursi'' lagi.

Yang paling mungkin, 6 kursi itu bisa didapat dari negara bagian Nevada. Pas. Nevada punya ''kuota'' 6 'kursi'. Dan Biden sudah unggul di situ. Selisih suaranya pun kian hari kian lebar. Sisa suara yang belum dihitung pun yang dari kawasan Las Vegas dan sekitarnya. Suara dari kawasan itu umumnya memilih Biden.

Belum aman?

Tentu Biden masih berharap bisa menang di negara bagian Pennsylvania. Yang ''kuota kursi'' -nya besar: 20 ''kursi''. Posisi sekarang Biden memang masih kalah. Tapi suara yang belum dihitung masih besar.

Awalnya, Trump unggul sampai 800.000 suara. Karena itu Trump bangga sekali menyebutkan besarnya kemenangan di Pennsylvania. Simaklah pidato Trump sebelum tidur tanggal 3 November itu. Begitu tinggi pujiannya pada pendukungnya di Pennsylvania.

Tapi begitu Trump bangun tidur selisih kemenangannya tinggal 300.000. Lalu turun lagi tinggal 200.000.

Saat saya menulis Disway ini, jam 17.00 kemarin sore, kemenangan Trump di situ tinggal 18.229 suara.

Padahal masih sekitar 300.000 yang belum dihitung. Itu pun suara dari kota besar Philadelphia. Yang umumnya memilih Biden.

Jadi, Pennsylvania juga masih bisa diharap.

Dan... Wow! Masih ada Georgia.

Di sini, semula, seperti mustahil Biden bisa menang. Beda suara awal yang sudah dihitung jauh sekali: Trump menang besar.

Tapi tiap satu jam berlalu suara Biden terus merangkak naik. Lalu bikin panas dingin. Dan saat tulisan ini saya buat angkanya bisa membuat Trump tiba-tiba bangun subuh: selisih suaranya tinggal 1.267!

Hanya saja penghitungan itu diakhiri tengah malam. Untuk hari itu. Istirahat. Dengan selisih begitu tipis.

Maka ketika tulisan ini tiba di tangan Anda, pagi ini, berarti penghitungan suara di Georgia sudah beberapa jam lalu dimulai lagi. Mungkin saja selisih 1.267 itu sudah lewat!

Maka sia-sia saja Trump marah-marah ke Fox News. Kalau pun Trump bisa mengambil alih kemenangan di Arizona juga tidak ada gunanya. Georgia punya ''kuota kursi'' lebih banyak dari Arizona. Georgia 16 ''kursi''. Arizona 11 ''kursi''.

Pagi ini pun, ketika Anda berebut menjadi Pertamax saya akan langsung mengecek perolehan suara Biden di Georgia dan Nevada dan Pennsylvania.

Saya tidak akan memberitahu Anda hasil pengecekan saya itu –saya yakin Anda sudah mendahului saya. (Dahlan Iskan)

Jumat siang (6/11), Saya kembali satu meja podcast dengan Azrul Ananda. Khusus membahas soal Pilpres Amerika Serikat 2020 yang begitu seru ini.

Audionya juga bisa didengarkan di Spotify:

 

Tags :
Kategori :

Terkait