DRAMA Terusan Suez sudah selesai. Minggu sore lalu. Tapi masalah itu belum sudah. Terutama: mengapa.
"Kapal itu berjalan melebihi kecepatan," tulis Bloomberg kemarin. "Menurut catatan komputer di kapal itu, kecepatan terakhirnya 13,5 mil/jam," katanya. Itu setara dengan 25 Km/jam.
Padahal, menurut ketentuan, kecepatan kapal di Terusan Suez maksimum 8 mil/jam. Atau sekitar 14 Km/jam. Bahkan di bagian tertentu yang lebih sempit hanya boleh 7 mil/jam.
Itulah fakta yang harus diselidiki. Karena itu satu dua awak kapal Ever Given mungkin harus ditahan di Suez. Untuk diperiksa.
Belum tentu kapten kapal bisa disalahkan. Kapten punya otoritas penuh. Salah satu kiat seorang kapten di keadaan kritis adalah mempercepat laju kapal. Misalnya di saat terjadi badai seperti di Suez bagian selatan pagi itu.
Dengan berjalan lebih cepat, pengaruh terpaan angin berkurang. Apalagi Ever Given salah satu kapal terbesar di dunia. Yang muat kontainer yang ditumpuk-tumpuk tinggi. Tumpukan kontainer itu menjadi ibarat tembok solid yang tinggi dan lebar.
Dinaikkannya kecepatan itu bisa juga untuk mengejar waktu: agar cepat meninggalkan bagian kanal yang sempit. Di depan sana ada danau besar: Danau Pahit. ( ??????? ????? ??????).
Danau ini sebenarnya bukan danau. Di tahun 1850 kawasan ini masih berupa tanah dataran rendah. Kering. Berpasir. Tidak ada tetumbuhan. Tanah di situ asin. Mungkin saja sekian juta tahun lalu kawasan ini adalah laut.
Tahun 1860-an dibuatlah sungai buatan. Dari arah selatan. Juga dari arah utara. Ketika dataran rendah ini dilewati oleh sungai buatan, mengalirlah air laut dari arah selatan: dari Laut Merah. Mengalir juga air laut dari arah utara: dari Laut Tengah.
Air laut itu lantas menggenang di dataran rendah itu. Dalam sekali. Lalu membentuk danau besar. Yang karena tanahnya dulu asin maka disebut Danau Pahit.
Saya tidak habis pikir mengapa genangan besar ini disebut danau. Bukankah baru bisa disebut danau kalau airnya tawar? Misalnya danau Michigan di Chicago itu. Luasnya seperti laut. Tapi tetap disebut danau karena airnya tawar.
Sebaliknya yang di Jordania itu. Biar pun hanya seperti danau tapi tetap disebut Laut Mati karena airnya asin.
Terserah saja.
Yang jelas kapal yang melintasi Terusan Suez akan merasa lebih aman ketika tiba di Danau Pahit. Mungkin saja penambahan kecepatan Ever Given dimaksudkan agar cepat sampai di danau ini.
Apalagi kalau di depan Ever Given tidak ada kapal yang berdekatan. Maka menaikkan laju kapal tidak akan menabrak kapal di depannya.
Masih begitu banyak persoalan yang harus dijawab. Sedang kapal itu sendiri, harus terus berlayar ke Amsterdam. Yakni setelah berhenti sebentar di Danau Pahit untuk pemeriksaan fisik.
Sejauh ini tidak ada indikasi negatif. Tidak ada bagian yang rusak. Apalagi pengapungan kembali Ever Given lebih banyak ditentukan oleh alam. Yakni oleh pasang laut purnama di hari ketiga, malam tanggal 16 Sya'ban. Berarti satu hari setelah nisfu sya'ban –pertanda 15 hari lagi bulan puasa.
Pasang laut tanggal 14 Sya'ban memang sudah tinggi. Tapi belum membuat kapal itu mengapung kembali. Puncak pasang laut terjadi tanggal 15 Sya'ban. Belum pula sudah. Maka di pasang laut 16 Sya'ban kapal itu mulai bergerak. Artinya: tarikan kapal-kapal penarik mulai bisa ''menggoyang'' kapal raksasa itu.
Ada yang belum lega. Persatuan awak kapal India merasa masih harus terus mengawal kejadian itu. Mereka tidak mau awak kapal Ever Given dijadikan kambing hitam. Semua awak kapal Ever Given memang berkebangsaan India.
Meski kapal itu begitu besar, awak kapalnya ''hanya'' 25 orang. Memang peraturan internasional memungkinkan efisiensi tenaga seperti itu. Pemilik kapal di Indonesia tidak mungkin bisa sehemat itu. Kapal-kapal di Indonesia diharuskan menampung siswa sekolah pelayaran untuk tempat magang.
Organisasi pelaut India mempersoalkan ini: otoritas Terusan Suez juga ikut bertanggung jawab. Setiap kapal besar yang memasuki Terusan Suez harus dibantu pilot dari Mesir. Pilot itu naik ke anjungan kapal untuk berdampingan dengan kapten. Sang pilot naik ke anjungan bersamaan dengan selesainya pengurusan dokumen di mulut terusan.
Pilot itulah yang paling tahu kondisi Terusan Suez. Mulai dari alur airnya sampai peraturan yang harus diikuti.
Menurut perhitungan saya, pilot itu naik ke anjungan sekitar pukul 4 pagi. Udara dingin –terbawa oleh musim dingin di belahan utara. Dua jam kemudian kapal memasuki bagian paling sempit di kanal sepanjang hampir 200 Km itu.
Terjadilah badai. Tiba-tiba. Badai itu menerbangkan pasir. Sebelah kanan kanal ini Gurun Sinai yang berpasir. Sebelah kirinya dusun-dusun kecil. Itulah gambaran bagian selatan kanal ini.
Saat itulah kecepatan kapal ditambah. Tapi pandangan ke depan tertutup badai pasir.
Maka terjadilah drama enam hari itu. Kapal yang panjangnya 400 meter itu melintang diagonal di kanal selebar 200 meter. Tidak ada lagi kapal lain yang bisa lewat.
Bagian depan kapal itu menghunjam pinggiran timur kanal. Bagian belakangnya menempel di pinggir barat: di pinggir sebuah desa miskin yang berpenduduk 5.000 jiwa.
Kapal itu pun seperti terdampar di halaman rumah penduduk desa itu. Dan kalau malam memancarkan cahaya gemerlapan yang indahnya tak terpermanai –bagi penduduk desa.
Mulai Senin lalu desa itu kembali sepi. Kalau malam kembali gelap. Mereka tetap bisa melihat lalu-lalang kapal di Terusan Suez tapi di kejauhan sana.(Dahlan Iskan)