SAAT ini, perjalanan haji bukanlah sebuah pertaruhan hidup atau mati. Kini, ibadah haji sangat dimanjakan oleh fasilitas yang memudahkan. Kita berangkat menggunakan pesawat yang sanggup menempuh jarak 7.980 km (Jakarta-Jeddah) hanya dalam waktu 9-10 jam.
Sesampai di Makkah, kita akan masuk ke kamar hotel berbintang, dengan kamar be-AC, ranjang yang empuk dan bersih, kamar mandi dengan fasilitas air hangat. Tak perlu repot masak, kita disiapkan makan pagi, siang dan sore yang dimasak oleh para juru masak pengalaman. Jika bosan masakan yang disiapkan panitia, kita hanya perlu melangkahkan kaki beberapa langkah untuk menemukan “toko Indonesia” yang menyediakan berbagai keperluan kita, termasuk mie instan yang seringkali menjadi makanan idaman di saat kelaparan atau sedang malas dengan masakan rumahan.
Mau ke Masjidil Haram? Tersedia bus 24 jam yang siap mengantar dan menjemput kita. Masuklah ke area Masjidil Haram, kesejukan AC-nya akan memanjakan kita. Keramik kualitas tinggi membuat kita tak akan pernah merasakan panas di telapak kaki kapan pun kita melakukan thawaf.
Jangan pernah membayangkan kita akan menahan haus dan panas saat berjalan antara bukit Shafa dan Marwa. Bahkan kita tidak menyadari bahwa kita berada di antara dua bukit, karena area sa’i sepenuhnya berada di dalam masjid.
Saat melakukan sa’i bolak-balik dari Shafa ke Marwa, kita hanya akan merasakan seperti berjalan dari satu ujung ke ujung lain dalam sebuah area tertentu di dalam masjid. Panas? Sama sekali tidak. Bahkan jika kita sa’i di malam hari, tubuh kita akan sedikit menggigil karena kedinginan. Air putih (Zamzam) tersedia di mana-mana.
Lelah beribadah di Masjidil Haram atau tiba-tiba Anda merasa lapar dan perlu makan? Keluarlah ke halaman masjid, tepat di depan mata, Anda akan menemukan kompleks Makkah Royal Clock Tower atau yang juga disebut Abraj Al-Bait Towers. Ini merupakan kompleks mall, hotel, hunian, dan museum. Bangunan yang tingginya mencapai 601 meter ini merupakan satu dari sepuluh bangunan tertinggi di dunia. Di sini, Anda bisa menemukan restoran, cafe, supermarket, atau toko cinderamata. Tinggal lihat berapa uang yang tersedia di dompet Anda.
Jika ingin kembali ke masjid, silakan, karena Anda hanya butuh beberapa langkah kaki untuk memasuki kompleks masjid. Jika ingin istirahat, silakan kembali ke hotel dan nikmati kelembutan tilam bersih yang menutupi ranjang Anda. Sungguh, fasilitas yang menggiurkan bukan?
Tapi Makkah tetaplah Makkah. Keluarlah dari hotel di siang hari tanpa fasilitas-fasilitas yang saya sebutkan di atas. Anda akan langsung disergap panas yang seakan mau membakar tubuh. Siang hari, suhunya bisa mencapai 40 derajat celsius. Sangat panas dan kering.
Arahkan mata Anda ke seluruh penjuru mata angin, di balik bangunan-bangunan hotel yang bertebaran, Anda hanya akan menemukan perbukitan batu hitam yang kegagahannya hanya memberi kesan kehampaan dan keputusasaan. Jangan pernah mencoba berjalan kaki tanpa alas di siang hari, karena hal itu berarti Anda membakar tapak kaki Anda sendiri dalam pengertian yang sebenarnya.
Lalu, marilah kita membayangkan Makkah 1.400 tahun yang lalu, tepatnya di tahun 632 M, saat Nabi bersama rombongan Sahabatnya menunaikan haji. Lenyapkan seluruh fasilitas modern yang saya sebutkan di atas, Makkah hanyalah sebuah daerah yang hamparannya berupa pasir yang dipaku oleh bukit-bukit batu hitam. Tak ada pemandangan sebuah kota. Yang ada hanyalah permukiman dari batu dan tenda-tenda.
Lazuardinya bukanlah sebuah keindahan langit biru karena terik mataharinya memanggang apapun yang ada di bawahnya. Dalam situasi kekejaman alam seperti itu, hari-hari bisa berupa perjuangan untuk sekadar menghindari kematian. Panas, kering, kehausan, berpadu dengan angin gurun yang mematikan. Mata air adalah salah satu kekayaan mewah di samping unta. Tak ada kecepatan apap un yang bisa mengantar orang melintasi padang gurun kecuali kuda atau unta.
Dalam situasi itulah, Nabi Muhammad mendatangi panggilan Allah yang memerintahkannya untuk berhaji. Episode keberangkatan hingga pelaksanaan haji Nabi adalah sebuah episode yang sangat mengharukan. Nabi Muhammad baru bisa melaksanakan haji di tahun ke-10 H sekalipun panggilan Allah itu sudah turun di tahun ke-6. Itu berarti Nabi memendam hasrat selama 4 tahun. Ketika di tahun ke-10 H Nabi mengumumkan akan berhaji, Madinah dipenuhi oleh kaum Musimin yang akan ikut berhaji bersama Rasulullah.
Pada hari Sabtu, lima hari sebelum akhir bulan Dhulqa’dah, Rasulullah berangkat meninggalkan Madinah. Ketika beliau akan meninggalkan Kota Madinah untuk menunaikan haji, yang tampak di depan Sahabat-sahabatnya adalah sosok sederhana dengan sikap tawadhu yang dipenuhi kekhawatiran akan kerusakan amalan hajinya karena riya’ dan hasrat popularitas. Hal ini tercermin dalam doa beliau ketika akan berangkat haji, sebagaimana yang diriwayatkan Anas Ibn Malik RA:
عن أنس بن مالك حجَّ النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ على رحلٍ رَثٍّ وقطيفةٍ خلقةٍ لا تساوي ثم قال : اللهم حجةً لا رياءَ فيها ولا سمعةَ روه الترمذي