JAKARTA, DISWAY.ID - Situasi ekonomi global makin ngeri. Salah satu konsekuensinya, Bahan Bakar Minyak (BBM) harus naik.
“September The Fed rencana naikan lagi suku bunganya hingga 0,75 basis Crude Oil pasti bisa naik lagi, kurs rupiah makin jeblok,” kata politikus Partai Gerindra Arief Poyuono kepada Disway.id Minggu 14 Agustus 2022.
Ekspor dalam negeri, pasti terganggu apalagi komoditas ekspor saat ini mahal dan banyak negara tujuan ekspor akan mengurangi impornya.
Kondisi kian diperparah setelah negara tujuan ekspor Indonesia seperti Tiongkok, India, Amerika Serikat sedang kacau ekonomi nasionalnya.
“Dengan ekspor turun otomatis pendapatan negara juga turun. Ini rasionalitas yang terjadi,” kata dia.
Nah, jika BBM naik mau tidak mau ongkos produksi dalam negeri juga naik. Dampaknya, harga-harga barang dan jasa ikutan naik.
Sementara, sambung dia, daya beli masyarakat Indonesia masih lemah serta pendapatan ekonomi keluarga juga belum stabil alias menurun.
Kondisi tersebut akibat dampak Covid-19 yang menggerus selama 2 tahun lalu. Dimana banyak sektor-sektor ekonomi informal dan formal tutup dan PHK karyawan yang begitu masif.
Arief Poyuono.-Foto: Dok/Ilustrasi: Syaiful Amri-disway.id
“Apalagi saat ini Pertalite dan bio diesel sudah kurang pasokannya ke SPBU di Indonesia. Padahal, subsidi BBM sudah menembus Rp 502 triliun. Lalu sampai berapa kuat negara tahan untuk memberikan subsidi BBM,” ungkapnya
Belum lagi secara fakta, akibat dampak Covid-19 nilai Non Performing Loan (NPL) yang merupakan salah satu indikator kunci untuk menilai kinerja lembaga keuangan, perbankan, BUMN dan swasta juga secara hitungan buku sudah melewati batas yang ditentukan.
“Cuma karena ada kebijakan restrukturisasi saja jadi tetap di bawah patokan NPL-nya,” imbuh Arief Poyuono.
NPL di Bank BUMN sebenar tinggi, bukan karena akibat dampak Covid-19 semata yang membuat perlambatan pertumbuhan ekonomi dan usaha.