SUDAH jamak diketahui bersama, sufisme Islam berkembang pesat di tangan para intelektual di luar Arab, seperti Persia, India, dan Yunani/Eropa. Islam hadir ke setiap pelosok negeri tidak sekedar mengajarkan, tetapi juga untuk belajar. Umat muslim menjadi beragam, dan Islam diterima dalam setiap peradaban dan kebudayaan manusia.
Pada akhir abad ke- Hijriyah, Daulah Abbasiyah melakukan proyek penerjemahan besar-besaran. Naskah-naskah berbahasa Yunani disalin dan disunting ke dalam bahasa Arab. Muslim Arab menjadi terbuka melihat dunia yang lebih luas. Sejarah telah mencatat bahwa sejak tahun 750 Masehi, dunia Islam bersentuhan dengan alam pikir Yunani.
BACA JUGA:Politik Kekuasaan: Menegaskan Performa Perjuangan NU-PKB
Secara jujur patut diakui bahwa perkenalan umat muslim dengan pemikiran filsuf Socrates, Plato, Aristoteles dan lainnya adalah jasa besar Daulah Abbasiah. Hal ini bahkan diakui oleh intelektual kita, Imam al-Ghazali, yang di banyak tempat sering mengutip pandangan Plato (Aflathun). Tak jarang ditemukan gelar pujian “Aflathun Annabiy”, Plato Sang Nabi.
Plato banyak mengajarkan dan membicarakan tentang konsep filsafat emanasi. Yakni, segala sesuatu memancar dari "Yang-Satu". Segala keragaman di dunia berasal dari "Yang-Satu". Seperti cahaya yang menyinari alam semesta juga bersumber dari satu matahari . Mau tidak mau, konsep emanasi ini berpengaruh pada pemikiran sufisme Islam, khususnya As-Suhrawardi al-Maqtul dan Muhyiddin Ibnu Arabi.
Selain Platon, Aristoteles juga berpengaruh besar bagi pengembangan pemikiran sufisme. Misalnya, retorika Aristoteles mengajarkan tiga aspek utama: logos (logika atau fakta), pathos (emosi), dan ethos (etika). Dari sini, Ibnu Sina mengembangkan konsep empat tingkatan akal: akal materi, akal bakat, akal aktual, dan akal perolehan. Tuhan akan masuk ke dalam diri manusia melalui akal aktif.
Ibnu Sina mengembangkan teori penciptaan ala emanasi dengan pendekatan akal aktif tersebut. Ketika Tuhan memikirkan (ta'aqqul) terhadap diri-Nya maka lahirnya Akal Pertama, dari Akal Pertama lahir Akal Kedua, dari Akal Kedua lahir Akal Ketiga, dan seterusnya. Konsep ini hanya ingin menegaskan bahwa logos adalah sumber penciptaan melalui skema emanasi/pancaran.
André-Jean Festugière dalam bukunya berjudul La Revelation d'Hermes Trismegiste (Paris, 1950:384-400) mengatakan, banyak karya-karya di dunia Arab yang dinisbatkan pada Hermes, yang membicarakan tentang hakikat kemanusiaan dan hakikat ada. Biografi Hermes ini sangat berpegnaruh pada kepribadian As-Suhrawardi al-Maqtul dan Ibnu Arabi.
Hermes banyak mengajarkan tentang mengolah jiwa, membersihkannya dari amarah, dan mendorong jiwa untuk membersihkan dan mensucikan dirinya. Semua ajaran Hermes ini dengan mudah didapatkan dari ajaran para sufi muslim. Bahkan, ketika bicara tentang bagaimana mendapatkan Tabi'at atau Watak yang Sempurna, atau Tabiat Mulia, atau Ruhaniah, as-Suhrawardi memandangnya dari konsep nous dari Anaxagoras.
Nous sendiri, dalam bahasa Yunani, berarti pengetahuan atau intelegensia, pikiran, akal budi. Konsep Nous adalah pemikiran Anaxagoras, orang pertama yang menetapkan kemandirian Roh atau Ruh terhadap semua zat dan materi. Roh terpisah dari materi, dan bisa mempengaruhi perubahan terhadap materi. Roh adalah hal yang paling murni dan tidak tercampur dengan apapun.
Dengan begitu, pada akhir abad 2 dan awal abad 3 Hijriah, umat muslim sudah melebur dengan pemikiran Yunani, Eropa. Kaum Sufi mendapatkan literasi yang berlimpah tentang pemikiran filsuf-filsuf Yunani pada era Abbasiah. Ide bahwa manusia harus terus mensucikan dan membersihkan jiwanya menjadi ide umum di kalangan umat muslim kala itu. Sebagaimana ajaran Hermes dan Anaxagoras yang sudah dikonsumsi.
Jiwa yang suci atau roh yang bersih muncul ketika manusia tidak terikat dengan materi. Sebab, materi dapat mengotori kebersihan dan kesucian roh. Manusia harus mencapai derajat roh yang suci dan bersih, sehingga bukan dipengaruhi oleh materi, melainkan mempengaruhinya. Tarbiatu wa tazkiyatu an-nufus (pendidikan dan pembersihan jiwa) adalah prinsip kaum Sufi mana saja.
Hari ini, kita pun perlu mengikuti jejak ketika para sufi. Mereka teladan kita dalam inklusifitas pemikiran, terutama di bidang pengembangan wacana keislaman. Mereka tidak segan belajar dari Barat, maka kita pun patut begitu. Harus diakui, Eropa (dan Amerika) terdepan di bidang sains, teknologi, dan pemikiran. Sebagaimana Yunani kala itu jauh di depan dibanding umat muslim era Abbasiah awal.
Kita sebagai umat muslim Indonesia, yang dididik untuk mengikuti jejak langkah serta pemikiran kaum Sufi, juga perlu terbuka terhadap pencapaian filsafat Eropa. Dulu karena keterbatasan akses transporasi, Daulah Abbasiah cukup menerjemahkan naskah-naskah Yunani dan dibawa ke dunia Mulism Timur Tengah. Hari ini, dunia pendidikan Eropa membuka diri untuk kaum muslim.
Dari para Sufi abad 2-3 hijriah kita bisa belajar satu hal; apapun itu harus kita terima selagi baik dan bermanfaat bagi agama dan keislaman kita, sekalipun itu datang dari Yunani-Eropa. Pemikiran Hermen, Plato, Aristoteles, Anaxagoras, dan lainnya boleh diambil sebagai sudut pandang keilmuan Islam. Itu pula yang dilakukan oleh Ibnu Sina, Ibnu Arabi, Suhrawardi, dan kaum Sufi lainnya. (*)