Dan SBY bermanuver lagi dengan mengumumkan langsung penurunan harga BBM. Dan hal itu dipolitisasi sebagai hasil kerja pribadi, bukan sebagai dampak pengaruh kondisi ekonomi internasional yang merupakan alasan sebenarnya. "Ini juga untuk kepentingan elektoral," imbuhnya.
Sementara di era SBY itu, Blok Cepu malah diserahkan dari Pertamina ke Exxon yang merupakan perusahaan asing. Berbeda dengan Presiden Jokowi yang justru mengamankan sektor hulu energi dengan mengakuisi Blok Mahakam dan Blok Rokan. Langkah Jokowi ini demi membangun kedaulatan energi serta hilirisasi energi. "Pak SBY 10 tahun sama sekali justru membuat kita tergantung asing," ujar Hasto.
"Bahkan beban subsidi pak Jokowi saat ini yaitu impor LNG, itu akibat kebijakan Pak SBY ketika melakukan perubahan subsidi dari minyak tanah ke gas LPG, tetapi tidak diikuti dengan pembangunan pabrik LPG di Indonesia. Akibatnya kita menjadi tergantung kepentingan asing. Itu jumlahnya kurang lebih 100 triliun," tambah Hasto.
Hasto lalu memaparkan data soal jumlah anggaran negara terkait dengan 'operasi khusus' di pemilu 2009 lalu.
"Jadi ini ada data-datanya semua. Dan ini kan yang tidak dilakukan oleh Presiden Jokowi. Kemudian, bagaimana Pak SBY bisa mengatakan kalau Pak Jokowi itu batil, Pak Jokowi itu jahat, merencanakan kecurangan pemilu?" tegas Hasto.
Hasto lalu menjelaskan soal dugaan kecurangan DPR di berbagai daerah di Indonesia. Lalu berbagai tim yang dibentuk untuk menyukseskan SBY dan PD dengan menggerakkan elemen-elemen negara.
"Jadi mohon maaf Pak SBY, kecurangan itu justru terjadi pada periode bapak, bukan pada saat Pak Jokowi. Kalau PDI Perjuangan curang, naiknya kami sudah sesuai hasil survei, udah 27 persen sebagaimana hasil survei. Perolehan kami hanya 18 koma sekian persen. Tidak jauh berbeda dengan pemilu sebelumnya."
"Dan kemudian yang menyedihkan, itu dokumen-dokumen pemilu 2009 dihancurkan, sampai sekarang kita tidak bisa punya data pemilu sampai ke tingkat TPS, karena itu semua dihacurkan. Jadi untuk menutup jejaknya," pungkas Hasto.