TERAKHIR kali saya bertemu Nenia di perayaan kecil-kecilan pernikahan Bang Jon di rumahnya.
Kami sempat berbincang sebentar, basa-basi tanya kabar dan apakah dia masih kerja di Nagata Plaza. Dia bilang dia sudah pindah bekerja di Penangsa. Dia menyebut nama resort hotel yang langsung mengingatkan saya tentang kasino gelap itu. Bluebeach Resort. Saya bertemu lagi dengannya di INN Cafe. Saya, seperti biasa datang bersama Yon, lurahnya hiburan malam di Borgam. Ada show Glenn Fredly. Nenia datang bersama seorang lelaki bertampang oriental. Saya lihat dia tak lagi sama dengan pertama kali saya bertemu dulu di kedai kopi, saat dikenalkan Bang Jon dulu. Dia seperti sosok yang jauh dan liar. Dekat tapi tak terjangkau. Dia riang tapi tampak terasing dari keramaian. Dia merokok. Mungkin bukan dia yang berubah. Tapi saya yang dulu terlalu polos, dan kini saya melihat sisi dia yang lain, yang sebenarnya. Saya dengar mereka – Nenia dan lelaki bertampang oriental itu - bercakap dalam Bahasa Inggris. Di hadapan saya Nenia dan lelaki itu tak menyembunyikan kemesraan. Artifisial. Saya berusaha ramah dan melihat pemandangan itu dengan wajar. Kami bersapaan dan bersalaman. Dia memperkenalkan siapa laki-laki itu tapi saya tak terlalu jelas mendengar siapa namanya. Jack? Jach? Semacam itulah. Saya sedang menikmati Glenn yang sedang membawakan Terpesona , hits debutnya bersama Funk Section. Saya tak pernah benar-benar suka sama Glenn, tapi beberapa lagunya mengingatkan pada banyak hal. Malam itu Nenia pergi lekas. Si lelaki tampaknya tak menikmati Glenn. Ia menyempatkan menghampiriku. ”Masih punya nomorku, kan? Hubungi saya ya, saya mau ngomong.” ”Soal apa?” ”Telepon aja ya...” kata dia. ”Boleh saya ke Penangsa, ke tempatmu kerja?” tanyaku. Ini lebih menarik buat saya sebagai wartawan. Nenia bisa jadi pintu masuk ke dalam kasino itu, memenuhi rasa-ingin-tahu-ku. ”Boleh. Telepon aja dulu ya...” Dia segera berlalu. Yon bertanya padaku apakah Nenia masih sama Bang Eel. ”Nggak tahu, Yon. Sudah nggak kayaknya.” Saya dan Yon hendak meninggalkan INN Cafe, ketika serombongan tamu datang. Beberapa orang di antaranya seperti saya pernah lihat di pengadilan. ”Kayaknya itu orang-orang AKBP Pintor,” kataku pada Yon. ”Yang dua orang itu anggota tim pengacaranya,” kata Yon, menunjuk orang yang dimaksud. Kami berselisih di pintu keluar. Seorang di antaranya mengenali saya. ”Wah, ini dia si wartawan hebat kita,” katanya. ”Oh, ini dia Abdurrauf itu ya?” kata temannya. Jarang sekali sekali orang menyebut bahkan sekadar tahu nama lengkapku. Cara dia menyebut nama saya dengan nama lengkap seakan mau bilang bahwa dia telah mencari informasi banyak tentang saya. ”Ah, mau kemana, Bung? Kita minum-minum dululah. Laku kan koran kalian hari ini?” ”Sudah dari tadi, Pak,” kataku. ”Terima kasih.” Saya mengendus aroma tak enak, panas dan berbahaya. Apalagi dia menyinggung soal koran. Terbakar juga emosi saya. Seorang menarik lengan saya dengan kasar. Saya menepis. Nyaris terjatuh. Mereka tertawa-tawa. Seseorang mendorong saya. Yang lain menjegal kaki saya. Kali ini saya benar-benar terjengkang. ”Belum minum kok sudah mabuk,” kata orang yang mendorong saya tadi. Mereka terus tertawa. Saya tak kenal siapa. Seperti preman. Tampangnya kasar dan lengannya bertato. Keributan di pintu masuk itu sedikit mengganggu pengunjung. Sekuriti kafe datang menertibkan kami. Si preman mendorong sekuriti itu. ”Hei, kau jangan ikut campur. Ini urusan saya dengan si wartawan sok hebat ini...,” katanya. Dua sekuriti lain datang menyeret si preman keluar. Dia berteriak-teriak marah. Tapi teriakannya terdiam ketika seorang menghantam mulutnya. Si preman terempas, terlepas dari pegangan sekuriti. Keributan seakan pindah ke luar kafe, ke samping hotel. ”Abang Dur tak apa-apa?” kata Edo. Baru saya kenali si pembungkam preman tadi adalah Edo. Beberapa orang berdiri siaga seperti mengawal Edo. Ada tato ”Terpedo” di lengan mereka. Aduh, bisa jadi panjang urusannya. ”Ngapain kamu, Do? Siapa suruh kamu pukul dia?” ”Maaf, Abang Abdur. Ini teman-teman saya mereka ada kerja di sini. Willy tadi kenal orang-orang yang tadi baru masuk. Orang-orangnya polisi tersangka itu,” ia menunjuk lelaki berkumis dengan kaus ketat. ”Kami takut dia ganggu Abang Abdur,” kata si Willy. ”Ternyata betul.” ”Makanya tadi kami masuk, susul ke sini,” kata Edo. Saya memandangi kawan-kawan Edo. Mereka membalas pandanganku seperti pasukan menunggu perintah komandan. Edo mungkin paham kebingunganku. Ia menjelaskan dengan ringkas tentang geng Terpedo yang ia kumpulkan. ”Teman-teman ini perlu pekerjaan,” kata Edo. ”Bagaimana bisa dapat kerja di INN Café ini?” tanyaku. ”Bang Jon yang bantu,” kata Edo. Saya memandangi Edo. Melihat ketulusannya membantu kawan-kawannya. Saya juga diam-diam salut sama Bang Jon. Urusan Edo dan Terpedo tak bisa saya campuri. Dalam hati saya timbul juga rasa aman, ada yang melindungi. Hari-hari ke depan mungkin saya memerlukan itu. ”Tadi saya lihat ada pemred Podium Kota bareng mereka,” kata Yon. Yon menggerutu. Kesal sekali ia. Yon bilang ia bisa suruh sekuriti usir mereka. ”Sudah, Yon. Biarkan saja,” kataku. AKBP Pintor dibawa ke Borgam. Kedatangannya disambut dan dielu-elukan massa yang menunggu sejak pagi. Seperti pahlawan besar. Ia langsung dibawa dan ditahan di tahanan Kejari dengan status tersangka. Di Bandara Hang Tuah, pengacaranya, Johnson Panjaitan SH, langsung menggelar jumpa pers. Ia yakin kliennya tak bersalah, penetapan kliennya sebagai tersangka katanya hanya fitnah. ”Penyidik kasus ini tiba-tiba diganti. Ada penyidik yang punya dendam pribadi pada AKBP Pintor. Tak cukup bukti untuk menersangkakan klien kami. Nanti saya buktikan di pengadilan,” katanya. Awang, Runi, dan AKBP Pintor diajukan kembali ke persidangan dengan dakwaan terpisah. Pengacara Restu Suryono dan tim tetap jadi pembela Awang dan Runi. Kesaksian Awang dan Runi menguatkan dakwaan pada AKBP Pintor. Cerita yang ditangkap dari sidang sebelumnya menjelaskan bagaimana AKBP Pintor meminta Awang untuk membunuh Putri, tiga minggu sebelum kejadian. Dengan janji dibayar Rp50 juta. Awang diberi ATM untuk menarik uang, dengan secarik kode PIN. Lalu Awang dan Runi diberi tiket kapal agar pergi meninggalkan Borgam. Awang menerima uang Rp 2 juta setelah membuang mayat Putri dan menunggu di hotel Bersama Runi dan Zakia, anak korban dan AKBP Pintor. Anak itu akan dijemput dan diserahkan ke AKBP Pintor setelah sisa uang yang dijanjikan diserahkan. Garis besarnya begitu. Saya menyiapkan tim liputan, membuka lagi seluruh berita kami, dan membuka lembar kertas baru di dinding ruang rapat. Nenia meng-SMS, bertanya kapan saya bisa menemuinya. Sore itu dia ada waktu. Edo mengantarku ke Hotel Bluebeach Resort. Tampak tak berbeda dengan resort yang lain. Kasino itu, kabarnya, ada di ruangan besar di basement. Juga di lantai paling atas, yang punya akses khusus. Nenia menemuiku di ruang meeting hotel. ”Aku lagi break sebentar. Terima kasih ya sudah datang,” kata Nenia. Dia berpakaian sangat professional. Dengan setelan yang pas di badan, ”Apa kabarnya Bang Eel?” tanya Nenia. Tadinya justru saya yang mau bertanya soal itu, belakangan Bang Eel jarang bercerita soal soal hubungan mereka berdua. ”Kamu masih ketemu dia kan?” tanyaku. Tapi kupikir pertanyaan itu salah, membuat Nenia tak nyaman, mengingat pertemuan kami di INN Café. ”Itulah yang aku mau tanyakan ke kamu, Dur,” kata Nenia. “Beberapa waktu lalu dia ajak saya menikah.” ”Dia melamar kamu?” tanyaku. ”Nggak. Eh, nggak tahu juga. Pokoknya dia ajak aku menikah.” ”Terus?” ”Saya tak menjawab. Saya terus-terang saja belum ingin menikah. Belum siap. Setelah itu saya agak menjaga jarak, menolak ketemu, takut dia tanya lagi, dan saya tak mau menolak. Saya masih pengin bareng dia, tapi untuk menikah belum,” kata Nenia. Selama tak bertemu, Nenia jalan dengan banyak laki-laki lain. Siapa saja. Apalagi sejak bekerja di Bluebeach Resort. Banyak tamu-tamu hotel yang, kata Nenia, datang untuk berjudi, dan di luar jam itu, juga jam kerja dia, membutuhkan teman. Mula-mula sebagai layanan hotel, tapi kemudian ia lakukan itu di luar jam kerja. ”Lalu aku baru tahu dua hari sebelum kita ketemu di INN malam itu, bahwa aku hamil, Dur,” kata Nenia. Dia menceritakan itu seperti sebuah cerita yang biasa saja. Saya agak terperanjat. ”Saya tak yakin siapa yang bikin saya hamil.” ”Bukan Bang Eel?” tanyaku. ”Mungkin Eel. Tapi mungkin juga bukan. Yang pasti saya tak mau aborsi. Janin ini mengubah diri saya. Saya ingin jadi ibu. Saya mau rawat dia.” ”Terus gimana? Apa rencanamu?” ”Kalau saya menerima ajakan Bang Eel menikah, dengan kondisiku yang sedang hamil begini, setelah saya menggangtung jawaban, kira-kira dia masih mau menerima saya?” Tanpa ragu saya katakan, ”Pasti mau. Saya tahu siapa dia. Dia pasti mau menerima kamu.” ”Meskipun saya hamil begini?” ”Ya. Saya orang yang paling banyak dia ajak bicara sekarang. Urusan kerja terutama, juga urusan pribadi.” Nenia tampak sedikit lebih tenang. ”Kamu jangan bilang ke dia ya, kalau kamu tahu soal ini.” Saya mengangguk. ”Jangan khawatir. Saya amanah…” (Hasan Aspahani)Siapa membunuh Putri (25) - Bluebeach Nenia
Rabu 28-09-2022,03:00 WIB
Oleh: Dahlan Iskan
Kategori :