SEORANG salik yang telah menjalani laku suluk, pada gilirannya ia akan tiba pada maqom khauf (takut) dan raja' (harap). Rasa takut ini berbeda dengan rasa takut seseorang yang bertemu binatang buas yang siap menerkamnya. Tetapi, rasa takut tersebut adalah rasa takut melakukan maksiat yang mendatangkan murka Allah, sehingga ia bersegera untuk mengerjakan ketaatan dan ibadah.
Ar-Raghib al-Ashfihani mengatakan, seseorang tidak dinilai memiliki rasa takut (khauf) sebelum ia sepenuhnya meninggalkan dosa-dosa yang pernah dilakukannya (Shihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Alusi, Tafsir al-Alusi, Dar al-Kutub al-Ilmiah Beirut, 2014: 9/115). Pada dasarnya, khauf ini adalah maqom yang menopang maqom taubat. Dengan berbekal maqom khauf, seseorang tergerak untuk tidak lagi mengulangi dosa dan kesalahan sebelumnya.
BACA JUGA:Taubat dan Ihsan
Ketika hati seseorang dipenuhi rasa takut untuk mengerjakan dosa dan maksiat, saat itulah raja' muncul. Yaitu, keinginan seseorang untuk bersegera melakukan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Untuk itulah, Abdullah bin Khubaiq membagi macam raja' ini menjadi tiga macam; pertama, seseorang yang mengerjakan amal baik kemudian berharap amal tersebut diterima di sisi Allah.
Kedua, seseorang yang berbuat maksiat dan dosa lalu ia bertaubat dan berharap mendapat ampunan. Ketiga, seseorang yang terus-menerus melakukan maksiat dan ia berharap berhenti dan mendapat pahala (Abul Hasan as-Sirjani, Kitab al-Bayadh wa as-Sawad: Min Khashaish Hikam al-Ibad fi Na'ti al-Murid wa al-Murad, Brill, 2012: 275).
Khauf dan raja’ ini bertalian satu sama lain. Seseorang yang takut melakukan maksiat lagi dan lagi, pasti ia berharap bisa berbuat baik dan amal perbuatannya diterima Allah, lalu mendapat ampunan atas dosa yang pernah dilakukannya. Tanpa adanya rasa takut di dalam hati, seseorang akan terus melakukan maksiat, tidak pernah menyesali, dan ia tidak akan bertaubat.
Ketika seseorang tidak punya rasa takut melakukan dosa dan maksiat, mana mungkin ia punya harapan untuk berhenti, apalagi mengharap ampunan dari Allah. Hanya orang yang memiliki rasa takut, maka ia akan punya harapan akan ampunan, setidaknya ada harapan untuk berhenti dari perbuatan maksiatnya di kemudian hari. Karena itulah, khauf mendahului raja’.
Raja’ datang setelah adanya khauf. Untuk itulah, kaum sufi sepakat bahwa ibadah yang dilakukan atas dasar raja’ jauh lebih utama dari pada ibadah atas dasar khauf (Muhammad bin Abdullah at-Tabrizi, Mirqatul Mafatih: Syarhu Misykatil Mashabib, Dar al-Kutub al--Ilmiah Beirut, 2001: 4/64). Sebab, seseorang yang beribadah atas dasar raja’ lebih melihat rahmat Allah dari pada siksa-Nya.
Di sisi lain, orang yang tidak punya rasa takut saat melakukan maksiat dan dosa jauh lebih parah dari pada orang yang melakukannya namun tersirat dalam hatinya rahmat dan ampunan dari Allah, serta berharap suatu hari nanti akan berhenti dari maksiat yang dilakukannya. Secara manusiawi, orang yang melakukan kesalahan namun dirinya mengakui kesalahan itu jauh lebih baik dari pada orang yang melakukan kesalahan namun merasa tidak bersalah.
Imam Ghazali sendiri, bahkan, mengatakan bahwa syarat utama seseorang bisa bersabar dan bersyukur apabila hatinya terlebih dahulu dipenuhi oleh rasa khauf dan raja' (Al-Ghazali, Ihya' Ulumiddin, Thaha Putra Semarang, 4/164). Ini artinya, seseorang yang takut melakukan dosa dan berharap mendapat ampunan maka ia akan lebih bersabar dalam beribadah dan akan lebih bersyukur saat mampu beribadah dengan baik.
Khauf dan raja' juga digambarkan oleh para sufi sebagai dua sayap seekor burung. Apabila kedua sayapnya itu sehat dan seimbang, maka burung akan terbang tinggi. Begitu sebaliknya (Abul Futuh Abdullah bin Abdul Qadir at-Talidi, al-Arba'un Haditsan fi al-Khauf wa ar-Raja', Dar al-Kutub al-Ilmiah Beirut, 2010: 9). Burung itu adalah ruh spiritual seseorang, yang akan melambung tinggi ke hadirat Tuhan bila memiliki sifat khauf dan raja’ secara seimbang.
Seseorang yang terlalu takut mengingat ancaman Allah, maka hidupnya akan dipenuhi kesedihan hati, penyesalan tiada henti, serta sesak dalam menjalani hidup. Sebaliknya, seseorang yang terlalu raja’, maka ia bisa terjerumus ke dalam lembah maksiat yang dalam, karena punya keyakinan Allah akan mengampuninya walaupun terus mengerjakan maksiat. Khauf dan raja’ harus dilakukan secara seimbang dan tidak dominan sebelah.
Kita tahu salah satu aliran teologi dikembangkan oleh murji’ah. Mereka mengatakan bahwa manusia yang mengerjakan maksiat akan diputuskan oleh Allah. Sampai-sampai mereka mengatakan, ”dosa sebesar apapun tidak akan berbahaya bagi seseorang selama ia memiliki iman”. Kelompok ini terlalu mengedepankan raja’ daripada khauf, sehingga mereka tidak takut melakukan maksiat besar karena dianggap tidak akan berbahaya.
Sebaliknya, ada kelompok khawarij yang mengatakan, pelaku maksiat adalah pelaku dosa besar dan dia dianggap telah kafir. Kelompok ini pun terlalu berlebihan dalam khauf, sehingga pelaku maksiat dianggap kafir sama seperti menyekutukan Tuhan (Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Umar al-Marizi, Al-Mu'allim bi Fawaidi Muslim, Dar al-Gharb al-Islami, Tunisia, 1992: 1/194).
Artinya, seseorang yang berlebihan dalam hal raja’, maka akan seperti murji’ah yang tidak pernah takut melakukan maksiat besar sekalipun, karena maksiat dianggapnya tidak berbahaya selama masih punya iman. Sebaliknya, orang yang berlebihan dalam hal khauf, ia akan seperti khawarij yang berlebihan dalam menganggap dosa besar sebagai penyebab kekufuran, lalu halal darahnya untuk dibunuh. Karena itulah, khauf dan raja’ harus seimbang, seperti kedua sayap seekor burung. (*)