Gading Wulan

Minggu 25-12-2022,04:00 WIB
Oleh: Dahlan Iskan

INI bukan cerita bagi para penggila kuliner. Tidak usah dibaca. Ini khusus bagi jenis orang yang seperti ini: memuliakan tubuh dengan cara yang mulia.

Dia seorang dokter. Spesialis patologi klinis. Namanyi: Wulan. Sudah menjelajah daerah yang paling dihindari seorang dokter baru: Papua. Bukan Jayapura, tapi Wamena. Bukan di Wamena tapi di Kurima. Bahkan bukan di Kurimanya, tapi lebih dalam lagi: di Puskesmas Angguruk. 

Pokoknya pedalamannya pedalaman Jayawijaya, Papua Tengah. Itu jauh sekali dari Wamena yang jauh itu. Masih harus naik pesawat kecil 45 menit lagi. 

Dari sana Wulan pindah ke daerah yang juga tidak diharapkan siapa pun: pulau Rote di NTT.

Tapi Wulan menjalani semua itu dengan bahagia. Begitu tahu akan ditempatkan di Papua, Wulan minta sekalian lokasi yang tersulit dari yang paling sulit.

Tiga tahun Wulan di pedalaman Kurima. Hanya sekali pulang pulang ke Kediri. Saking jauhnya. 

Dari Kurima, Wulan masih ke daerah terpencil lainnya: di pulau Rote. Dua tahun lagi di sini. 

Pilihan hidup Wulan awalnya ingin jadi arsitek. Sedang ibunyi sangat berharap Wulan jadi dokter.

Wulan anak nomor 9 dari 10 bersaudara. Banyak kakaknya yang sakit-sakitan. Dari situlah keinginan sang ibu lahir. Wulan harus jadi dokter.

"Saya lupakan arsitektur. Saatnya saya menunjukkan bakti ke ibu," ujar Wulan.

Wulan lulus tes di Universitas Brawijaya, Malang. Tidak terlalu jauh dari ibunyi di Kediri.

Setelah kembali dari Rote, Wulan mengambil spesialis patologi. Juga di UB Malang. Di kota Arema itu pula Wulan  mendapat jodoh: dokter spesialis bedah jantung vaskuler.

Tapi bukan itu yang akan diceritakan hari ini. Itu tidak penting bagi pembaca yang suka durian. Tidak penting pula bagi yang suka makan Soto Banjar. Bakso Krian. Sate Tegal. Tengkleng Solo. Apalagi Nasi Kapau. 

Wulan sendiri akhirnya menjalani hidup yang sebenarnya tidak dia inginkan: KetoFastosis. Yang awalnya begitu berat. 

Semua itu demi kakak nomor 8. Yang hanya beda umur 1,5 tahun. Masih seperti sebaya. Seperti teman sepermainan. "Saya memang sayang sekali ke kakak nomor 8 itu," ujar Wulan.

Sang kakak sakit. Kanker pita suara. Awalnya suara sang kakak hanya berubah. Serak. Kian serak. Lalu suara itu hilang sama sekali.

Wulan sedih.

Sang kakak sendirian. Tidak mau kawin. Tidak ada yang merawat. Maka Wulan ingin merawatnya. Apalagi dia juga seorang dokter. 

Dalam perjalanan Wulan jadi dokter dulu, kakaknyi yang menemani sang ibu. Pun ketika Wulan bertugas bertahun-tahun di wilayah nun jauh. Sampai sang kakak tidak kawin.

"Kakak saya tidak mau kawin dengan alasan sayang ibu dan harus merawat ibu," ujar Wulan mengutip pengakuan sang kakak.

Begitu parah kanker pita suara  itu. Lalu muncul jaringan-jaringan tumor. Mengumpal sebesar bola pingpong. Sampai tidak bisa bernapas. Leher itu harus dilubangi. Agar bisa bernapas. 

Berbagai obat sudah tidak mempan. Setelah dibiopsi jelaslah: itu kanker ganas. Harus dioperasi.

Sang kakak menolak operasi. Pun setelah dirayu dengan berbagai cara. Tapi ia mau kalau ''hanya'' dikemo. 

Kemo pun tidak mengatasi. Padahal sudah ia jalani dua seri. Tidak juga membaik. Bahkan tubuhnya melemah.

Dalam keadaan lemah itu ia menulis untuk Wulan. "Saya mau hidup," tulis sang kakak. Ia memang sudah tidak bisa mengeluarkan suara, tapi ia masih bisa menulis. Semua keinginan sang kakak dikemukakan lewat tulisan. Termasuk keinginan untuk hidup.

Tapi ia tetap tidak mau dioperasi.

Ia bandel. Sajak SMA sudah merokok. Ia seperti kereta lama. Tidak mau jalan kalau tidak ada asap mengepul.

Memang ada jenis perokok ekstrem seperti itu. Saya sering memuji perokok militan dengan sanepo.

"Perokok itu paru-parunya lebih awet. Seperti bandeng asap". Dan lagi, belum ada orang yang sedang merokok meninggal dunia. Padahal banyak orang yang lagi olahraga tiba-tiba jatuh dan tewas.

Sang kakak bukan sakit bandeng asap. Ia kena kanker pita suara. 

Wulan terus mencari cara menyembuhkan sang kakak. Tentu dengan cara yang bisa diterima. Sampailah Wulan  mempelajari KetoFastosis. Masuk akal. Wulan ingin kakaknyi menjalani itu. Berat, tapi masuk akal.

Melihat watak sang kakak, Wulan tidak yakin KetoFastosis dijalankan. Begitu banyak makanan yang harus dihindari. Begitu panjang puasa yang harus dilalui.

Gula dilarang total.

Tepung dilarang total.

Karbohidrat dilarang total.

Pun yang mengandung tiga hal itu: kue, kecap, bakso, bihun, dan durian, dan mangga, dan apa saja. 

Buah yang boleh dimakan hanya dua: alpukat dan zaitun.

"Makanan itu ada yang bisa membuat sehat, ada juga yang membuat sakit. Metabolisme harus diperbaiki," ujar Wulan.

Intinya: kadar gula dalam darah harus bisa mencapai di bawah 80. Maka seminggu pertama, tiap hari harus tes gula darah. Bila sudah stabil  mencapai angka itu baru boleh ke level berikutnya. Kalau belum, jalani terus sampai stabil 7 hari berturut-turut.

Ada aturan lain: harus puasa 16 jam sehari. Setelah jam 8 malam tidak boleh lagi makan apa pun. Itu makan terakhir hari itu. Itulah makan sahurnya. Lalu puasa. Sampai pukul 12 siang keesokan harinya. Selama 16 jam. 

Jam 12 siang jendela dibuka: jendela makan. Hanya jendela. Bukan pintu.

Tapi jendela itu lebar. Anda boleh makan apa saja yang Anda suka: asal jangan yang dilarang tadi. Ayam dan daging goreng pun boleh. Sate boleh. Tempe goreng boleh. Asal tidak dibumbui gula atau terigu.

Gorengan itu akan jadi lemak. Lemaknya akan jadi sumber energi bagi tubuh. 

Yang tidak ada batasan masuk ke perut adalah ini: air putih. Pun di saat jam puasa, Anda boleh minum air putih.

Wulan menjelaskan itu ke sang kakak. Bisa dimengerti. Sang kakak menuliskan jawabannya: "Saya mau hidup".

Wulan pun mengendalikan dapur. Tidak boleh ada gula di dapur. 

Misalnya masakan sayur asam. Itu memang sayur. Tapi unsur gulanya lebih mencelakakan daripada unsur manfaat sayurnya. Pun masakan sayur lainnya.

Ada masalah teknis. Haruskah Wulan punya dua dapur. Untuk kakaknyi dan untuk dirinyi sendiri. 

Ribet. 

Maka muncullah tekad baja-kurima Wulan: ikut sekalian menjalani KetoFastosis. Cukup satu dapur. Tanpa gula dan tepung apa pun. Dia ingin menyembuhkan sang kakak secara total. Dia juga memberitahu kakak: sang kakak tidak menjalani KetoFastosis sendirian. 

Kebetulan suami Wulan juga lagi perlu turun berat badan: 88 kg. Harus ikut sekalian KetoFastosis. Sang suami mau. 

Kebetulan keluarga ini tidak perlu menyediakan makanan untuk anak. Semua anak di situ adalah anak asuh.

Mulailah program keras ini dilakukan: tiga orang menjalani KetoFastosis bersama-sama. Berat sama dipukul. Ringan, kebetulan tidak ada yang perlu dijinjing.

Hari-hari pertama, kata Wulan, bukan main beratnya. Badan lemes. Tapi sang kakak harus sembuh.

Bahwa hari-hari pertama itu berat, mereka sudah tahu. Begitulah literaturnya. Masa berat itu harus bisa dilewati. Setelah itu semuanya akan bisa dijinjing.

Bahwa hari-hari pertama lemes, itu karena otak belum mencari sumber energi yang lain. Begitu hari ketiga tidak juga ada gula dan karbo otak mulai mencari sumber energi yang lain: lemak.

Begitu otak menemukan lemak, badan tidak lemes lagi. Energi dari lemak juga lebih hebat. "Satu gram karbo hanya menghasilkan 4 kc energi. Satu gram lemak menghasilkan 9 kc energi," ujar Wulan.

Hari kelima sang kakak membaik. Tumor sebesar bola pingpong itu mengecil. Hari ketujuh tumor itu kempes sama sekali. Semua senang. Semua bahagia.

Hari ke-8 sang kakak meninggal dunia.

Usianya 53 tahun.

Wulan sendiri sudah melewati masa-masa yang berat. KetoFastosis itu sudah melewati masa kritis. Otak Wulan sudah menemukan sumber energi non-gula dan non-karbo. 

Berat badan suaminyi pun  mulai turun. 

Wulan bertekad meneruskan hidup dengan KetoFastosis. Pun Sang suami.

Ini sudah tahun ke-8 Wulan dan suami hidup dalam KetoFastosis. Berat badan suami kini stabil di 74 kg. Wulan 52 kg.

Gajah mati meninggalkan gading. Sang kakak mati meninggalkan dr Eko Wulandari yang berjiwa gading. (Dahlan Iskan)

Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Tulisan Edisi 24 Desember 2022: Ranking Antipiretik

Leong putu

@Duwi... Tips bisa pertamax sekarang, beda saat pertamax era baginda Fadil. Kalau sekarang agar bisa pertamax modalnya cuma Doa. Iya..doa. Doa agar istri ra tepak pol rewel. Doa agar hpnya rusak. Doa agar ra tepak pol kuotanya habis. Doa agar CHD terbit telat. Hanya itu harapannya. Meraih posisi pertamax era ra tepak pol bagai mengharapkan hujan di Kita Dili.... Duuuuh kenapa kota Dili ya ? Jadi ingat lagu romantis itu...Januari di kota Dili . by Rita Efendi. Hahaha


Ahmad Zuhri

Sabtu pagi turun hujan.. Hujan turun dari semalaman.. Walau ngopi sekedar sachetan.. Nikmat mana lagi yg didustakan.. #ngopi sachetan 


Mirza Mirwan

Benar, memang. Di luar soal politik, pemerintah Tiongkok sangat peduli terhadap nasib warganya, bahkan yang tinggal di pelosok, dengan status minoritas ganda pula. Xinjiang, atau sebutan resminya Xinjiang Uyghur Autonomous Region -- daerah otonom Uyghur Xinjiang -- itu setingkat provinsi. Nah, di Xinjiang ini ada sebuah kabupaten dengan penduduk sekitar 40.000 jiwa, 80% suku Tajik. Kabupaten otonom Taxkorgan, namanya. Letaknya di dataran tinggi, di atas 3000m dpl. Nah, kemarin (Jumat 23/12), adalah peresmian beroperasinya bandara yang berada di ketinggian 3258m dpl di kabupaten Taxkorgan. Bandara itu dibangun sejak tahun 2020, menghabiskan biaya 1,6 miliar Yuan (US$229 juta) atau setara Rp3,6 triliun. Landas pacu (runway) bandara Taxkorgan itu 3.800m, lebih panjang ketimbang tiga landas pacu bandara Soetta yang 3.600-an (dua landas pacu) dan 3000m. Kata Bupati Taxkorgan, Zapar Attawulla, dengan adanya bandara itu akan mempercepat mobilitas warga, juga barang ke dan dari daerah lain di Tiongkok. Sebelumnya, dengan kendaraan darat, butuh waktu 50-an jam untuk ke Beijing. Dengan pesawat, meski mampir-mampir, paling lama 8 jam. Tetapi, bagaimanapun juga, saya tetap merasa bersyukur menjadi warga Indonesia dan tinggal di negeri tropis ini. Tidak ada negeri Utopia di dunia ini. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, saya mencintai Indonesia dengan sepenuh hati.


Pryadi Satriana

'Kere' - dalam komen saya terdahulu - adalah masalah mentalitas. Kalo sdh naik mobil Innova & sdh tahu kalo kopi 'sachet' sebagian besar 'bukan kopi' dan diberi 'perisa kopi' tapi tetep aja diminum, ya bagi saya itu - maaf - 'kere'. Kalau sudah punya mobil, tapi masih beli tabung gas 3 kg tjap 'khusus untuk orang miskin', itu juga - maaf - 'kere'. Kalau sdh punya jabatan 'tjukup' tinggi, dan berpenghasilan besar tapi masih korupsi itu - kali ini ndhak pake maaf - JELAS 'KERE'. Kalau ada ketua partai - apa pun partainya - mencalonkan capres atas dasar 'hak prerogatif' - darimana pun asal 'hak' itu dan mengabaikan aspirasi partai maupun konstituennya - itu JUGA 'KERE'. Ini sekadar komen, Anda boleh setuju atau tidak. Sehat selalu semuanya. Salam. Rahayu.


Otong Sutisna

Jangan khawatir penggemar kopi sachetan, sebentar lagi akan keluar subsidi mas kawin untuk istri kedua....biar yang pertama bisa pindah ke kopi karungan .... wkwkwk


Muin TV

Ngomongin masalah KERE atau SUGIH. Maksudnya miskin atau kaya. Ketika pemerintah mencabut subsidi bbm dan menaikan harganya menjadi Rp. 10.000 per liter. Saya merasa negara ini sudah KEREEE (tiga e). Gak punya duit. Makanya subsidi dicabut dan harga bbm dinaikkan. Tapi, ketika bicara mobil listrik. Ladalah.... negara ini sangat KAYA. Orang yang beli mobil listrik dapat subsidi 40 - 80 juta. Sedangkan yang beli motor listrik, dapat subsidi 4 juta. Aku pun jadi berfikir, enaknya beli motor listrik atau mobil listrik ya? Halah! Boro-boro mau beli mobil listrik, beli kopi aja sachetan...... 

Otong Sutisna

Pepatah belajar sampai negeri cina mungkin harus diubah menjadi belajarlah ke negeri +62. Lihatlah negeri ini begitu data covid tidak disampaikan tiap malam di televisi, datanya terus menurun dan masyarakat tidak panik. Penanganan covid terbaik adalah jangan dilaporkan atau yang punya gejala jangan di test atau di periksa, insya Allah datanya pasti nol alias zero, toh ada dan tidak adanya virus covid.... rumah sakit tetap penuh pasien dan yang meninggal juga sama, selalu ada. Apalagi ya....duh susah banget komen serius, kalau otak sudah terpapar virus angsuran dan rumput tetangga yang lebih hijau...


Lukman bin Saleh

Saya kira pemerintahan komunis Tiongkok alergi dengan segala macam protes. Ternyata tidak begitu. Terimakasih infonya Abah. Selama ini saya salah menilai. Dan saya juga minta maaf untuk pemerintahan P Jokowi. Selama ini saya sering protes atas kebijakannya dalam menangani Covid 19. Yang terkesan setengah2. Ragu2. Tidak tegas. Ternyata itulah yang pas. Terlalu ketat seperti Tiongkok kita tidak mampu, dan akan jadi bumerang dikemudian hari. Terlalu menyepelekan seperti Amerika juga bisa berakibat fatal...


bagus aryo sutikno

Pulau Bali ada wisata Seminyak Pulau Madura berbukit-bukit Kalau pertamina ngurusi eksplorasi gas dan minyak Lalu siapa yg mengurusi sirkuit


bagus aryo sutikno

Burung merpati burung dara Terbang tinggi diatas mendung . Mpun dahar siyang punopo durung...


Mirza Mirwan

Barusan, sebelum makan siang, saya tengok portal "Harian Rakyat"-nya Partai Komunis Tiongkok. Dan baru tahu, ternyata angka 3000-an kasus baru -- kemarin 3761 kasus -- di Tiongkok itu kebanyakan di Tiongkok Utara, termasuk Beijing. Dan kebanyakan di atas 60 tahun. Hal itu terjadi karena memasuki musim dingin, yang biasanya menyebabkan infeksi pernapasan (respiratory infectious). "Beberapa pasien tua mengalami kondisi parah setelah tertular varian Omicron, tetapi akan segera pulih setelah menerima perawatan," kata Lin Yanming, kepala bagian kedokteran pernapasan dan perawatan kritis RS Chaoyang, Beijing. Wakil direktur RS tersebut, Tong Zhaohui, mengatakan bahwa RS Chaoyang menerima 350-400 pasien setiap harinya dalam seminggu terakhir. Angka kasus baru yang menurut Tiongkok sudah luar biasa itu sebenarnya terbilang kecil bila dibandingkan kasus baru di Taiwan, apalagi Jepang, yang tetangga Tiongkok. Tgl. 23/12 kemarin, misalnya, saat Tiongkok mencatat 3761 kasus baru (kematian nihil), kasus baru di Taiwan 19.073 (40 meninggal). Sementara kasus baru di Jepang 180-an ribu (315 meninggal) -- sehari sebelumnya angka meninggal 339. Di AS, selama tiga hari, angka kematiannya 401 (21/12), 289 (22/12), dan 142 (23/12). Di Perancis, 127 (21/12), 120 (22/12), dan 158 (23/12). Di Brasil, 197 (21/12), 165 (22/12), dan 282 (23/12). Tetapi media barat lebih suka memberitaka kasus covid-19 di Tiongkok. Ditambah berita tentang antrean di krematorium pula 


Jimmy Marta

Kalau dari vaksinasi pasti lah belum lah akan 99% rakyat Indonesia yg sudah memiliki herd imunity. Dari data kemenkes yg vaksin 1 baru sekitar 60-70%. Vaksin 2 dibawah 50%. Lantas dari angka 99% itu? Jika anda memperhatikan, anda pasti tahu. Tahan mana orang2 jalanan dgn orang kantoran?. Atau kebal mana anak2 'lepas' dg anak yg 'dikurung' dirumah?. Jadi perkiraan sy, rakyat Indonesia itu mestilah kekebalannya karena 'dibiarkan' bebas. Kekebalan yg didapat dari proses dalam tubuh masing2. Anak yg dibiarkan bermain di panas dan hujan pastilah lebih kuat pertahanan internalnya dari mereka yg berpantang kena hujan panas. Mungkin Cina harus belajar dari teori proses alami ala Indonesia ini. Kekebalan alami dari proses alam. Gk perlulah dikit2 di lock down. Dimana mana kan dah bebas merdeka... Untuk kekebalan ini, sy teringat dg proses alami


EVMF

Masalahnya bukan "sachet-an"nya, karena ada juga kopi berkualitas baik (natural roasted coffee) yang dikemas kecil (sachet). Yang tidak baik bagi kesehatan itu kandungan Acrylamide-nya. Kopi dengan Perisa mengandung Acrylamide yang sangat tinggi yakni 818 mcg/kg ; bandingkan dengan Instant Coffee 358 mcg/kg dan Natural Roasted Coffee 179 mcg/kg.


Johannes Kitono

Berita CHD hari ini dengan nara sumber sahabat disway di China tentu layak dipercaya. Bahwa angka covids di China tidak separah seperti liputan mass media Barat. Apalagi dibandingkan dengan populasi 1,3 mily manusia. Tapi yakinlah mass media Barat seperti NYT pasti ogah mengutipnya. CHD akan dianggap pro China karena juragan Disway yang pernah jadi Menteri di NKRI ternyata sebagian onderdilnya made in China.


Leong putu

Gadis cantik manis datang ke pesta / Ingin hati mengajaknya berdansa / Sungguh miris di sana masih jadi derita / Covid di sini sudah dianggap flu biasa / ... 365_ mantun Covid


Liam Then

Tapi mau tak mau juga harus di akui, disaat darurat, ini menjadi opsi. Kemaren beli kipas angin berdiri 125 ribu, merek dalam negeri (yang komponennya syaa berani taruhan potong kuku) 425 rb. Saya tau yang 125rb , paling 6 bulan trus mogok, tapi lumayanlah. Mau gimana lagi. Dan yang paling bikin serba salah , hape made in China. Beberapa merek yang asli , sangat berkualitas. Tapi banyak juga hape sampah, yang tidak berguna beredar di pasaran, dari yang KW sampai merk tak jelas, yang murahnya sangat tapi kualitas payah. Cenderung ngapusi. Barang seperti ini bukannya bermanfaat tapi bikin rugi. Masalahnya kok bisa masuk Indonesia? Bukannya kita punya standar SNI, punya petugas kominfo sektor telekomunikasi yang ngecek dan ngawasi apakah spesifikasi produk hape-hape tak jelas ini ada potensi merugikan masyarakat? Soalnya saya pernah lihat, android abal-abal ,isinya aplikasi sampah semua, dan tak bisa di uninstall. Ini salah siapa sebenarnya, apakah salah pengimpor? Salah pengawas di instansi terkait ,atau salah konsumen hape yang di suguhi opsi hape android super murah? 

Kategori :