Ngaji Ukhuwah dari Hadratussyekh Hasyim Asy'ari

Selasa 31-10-2023,08:36 WIB
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*

Artinya, jika perbedaan hanya disebabkan oleh manhajul fikih fiqhiyah, yang besifat khilafiyah, zhanniyah, furu'iyyah, maka hal itu tidak bisa dijadikan alat permusuhan di antara sesama umat muslim. Warga Nahdliyyin tidak boleh mendasarkan perbedaan ajaran fikih sebagai pijakan bertindak saling bermusuhan, saling membenci, dan saling menjauhi. 

Koalisi PKB-PKS Bentuk Implementasi Qanun Asasi NU 

Mbah Hasyim wafat pada 25 Juli 1947. Selain mewariskan Qanun Asasi sebagai pemikiran filosofis tentang pentingnya persatuan, persaudaraan, tolong-menolong, dan kerjasama yang penuh kasih sayang, Mbah Hasyim juga meninggalkan jejak sejarah aktivisme. Salah satunya adalah Majelis Islam A'lam Indonesia (MIAI) dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

MIAI didirikan pada tahun 1937, dan Mbah Hasyim berperan sebagai ketuanya. MIAI mewadahi seluruh ormas Islam yang ada di zaman itu, antara lain: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Al Irsyad, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Al Khoiriyah, Persyarikatan Ulama Indonesia (PUI), Al Hidayatul Islamiyah, Persatuan Islam (Persis), Partai Islam Indonesia (PII), Partai Arab Indonesia (PAI), Jong Islamiaten Bond, Al Ittihadiyatul Islamiyah, dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA)

Pada tahun 1943, MIAI dibubarkan oleh Jepang dan dibentuk ormas penggantinya Masyumi. Dalam Masyumi, Hadratussyekh Hasyim Asy'ari kembali menjadi Ketua Pengurus Besar, dengan wakilnya dari Muhammadiyah, yaitu: KH Mas Mansyur, KH Farid Ma’ruf, KH Mukti, KH Wahid Hasyim, dan Kartosudarmo. Wakil Masyumi dari Nahdatul Ulama yakni KH Nachrowi, Zainul Arifin, dan KH Muchtar.

Aktivisme Mbah Hasyim sejak dari MIAI hingga Masyumi tiada lain adalah bentuk mengamalkan apa yang sudah menjadi prinsip Jam'iyyah Nahdlatul Ulama, yaitu persatuan, tolong menolong, bahu-membahu, kerjasama, dengan penuh kasih dan sayang. Mbah Hasyim menghindari perpecahan di tubuh umat muslim, apalagi perpecahan di internal NU sendiri.

Dengan demikian, Qanun Asasi NU maupun sejarah biografis Mbah Hasyim sendiri adalah dua warisan berharga bagi umat muslim Indonesia umumnya, dan warga Nahdliyyin khususnya. Sesama umat muslim harus bisa menyinggirkan egosentrisme, perasaan-perasaan diri lebih baik dan tidak butuh pada kerjasama dengan kelompok lain yang berbeda dari dirinya.

Koalisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah contoh konkret bagaimana mengimplementasikan Qanun Asasi NU dan menerjemahkan pengalaman perjuangan Mbah Hasyim dalam konteks yang relevan. PKB melihat PKS memang partai politik yang memiliki manhaj dakwah yang berbeda. 

Namun, meminjam istilah Mbah Hasyim, perbedaan adalah untuk saling mengenal satu sama lain, dan perbedaan bukan alasan untuk perpecahan, apalagi saling bercerai-berai. Dengan kata lain, koalisi PKB-PKS adalah pembelajaran politik sekaligus dakwah Islamiah yang bersumber dari ajaran-ajaran Hadratussyekh Hasyim Asy'ari, Pendiri NU. Wallahu a'lam bis shawab. (*)

*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Kategori :