MODERNITAS kerap kali disertai oleh manajemen organisasi yang semakin modern. Salah satu topik pembahasannya antara lain menyangkut kepemimpinan (leadership), pelatihan (training) sumber daya manusia, bahkan apresiasi (reward) terhadap yang berprestasi.
Jam'iyah Nahdlatul Ulama/ PBNU semakin modern juga, semakin kerap menata manajemen organisasinya. Melalui program PKPNU (Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama). Pada tahun 2023, mengeluarkan selebaran Nomor: 743/PB.03/A.I.03.47/99/07/23 tertanggal 4 Juli 2023/15 Dzulhijjah 1444 H, tentang pelaksanaan kaderisasi dasar Pendidikan Dasar Pendidikan Kader Penggerak NU (PD-PKPNU).
Salah satu bentuk manajemen modern adalah penyelenggaraan kaderisasi yang berbasis pada aplikasi kader baru, bernama Sistem Informasi Kader Nahdlatul Ulama (Siskader NU). Dengan begitu, adopsi teknologi menjadi semakin akrab di lingkungan warga Nahdliyyin.
Namun, PKPNU tidak kebal terhadap virus konservatisme. Seperti mesin, PKPNU memproduksi fanatisme berbasis keormasan Islam. Nilai-nilai Islam yang dibingkai dalam paradigma ormas NU menciptakan kader-kader militer yang fanatik berlebihan.
Pada level ini, PKPNU melahirkan kader-kader yang merasa paling benar sendiri, dan mengganggap kubu-kubu lain yang berbeda sebagai "orang lain" atau bahkan sebagai "musuh." PKPNU tidak lagi menjadi proses indoktrinasi paham "mengayomi", sebagaimana niatan awal pendirian Jam'iyyah NU. Sebaliknya, PKPNU menjadi mesin memproduksi fanatisme buta.
Kesimpulan semacam itu penulis rasakan langsung dan disaksikan sebagai peserta pada tahun 2013, penulis pernah mengikuti PKPNU di Karawang, tepatnya di rumah KH. As'ad Said Ali. Tampak sekali tidak ada indoktrisasi paham tawasut, tasamud, ta'adul, dan tawazun.
Keterkejutan selama mendapat indoktrinasi di PKPNU diakibatkan karena penulis pernah belajar di Al-Azhar Mesir. Para alim ulama Al-Azhar mengajarkan prinsip Washatiyah dan I'tidal, bersikap moderat dalam perbedaan dan seimbang dalam keragaman. Agar Islam tumbuh menjadi Rahmatan Lil 'Alamin, Al-Azhar mendidik umat muslim menjadi inklusif, tidak fanatis.
Keteguhan ulama-ulama Al-Azhar dalam berpegang pada Manhaj I’tidal (seimbang) benar-benar menjiwai dan mendorong Islam Wasathi (Moderat). Wasathiyah (moderatisme) menjadi manhaj (metodologi), yang sesungguhnya paling ampuh untuk menebarkan keindahan Islam dan keanggunan syariat. Di balik manhaj Washatiyah terkandung hikmah dan maslahat, yang nilai kebaikannya kembali pada manusia itu sendiri.
Perbedaan antara ajaran Al-Azhar dengan PKPNU bisa dibaca dan dipelajari melalui materi-materi PKPNU, yang mencolok. Penulis merasakan kepedihan hati, melihat modul yang isinya hanya indoktrinasi dan fanatisme. Padahal, pesan-pesan moderat inklusif Mbah Wahab Hasbullah, Pendiri NU, tercantum dalam modul PKPNU. Namun, pembacaan kritis terhadap pesan Mbah Wahab menjadi tumpul. Distorsi makna terjadi besar-besaran.
Para peserta seperti kehilangan pesan-pesan yang mendamaikan, merangkul berbagai kelompok yang beragam, seperti dahulu kala Mbah Hasyim dan Mbah Wahab merangkul berbagai ormas yang berbeda-beda manhaj keagamaannya. Sebaliknya, di dalam proses PKPNU, yang melekat dalam benak para peserta, terutama yang penulis saksikan, hanya perlawanan terhadap ideologi transnasional.
Kelompok-kelompok yang mengusung ideologi transnasional ditempatkan sebagai "musuh imajiner". Disebut musuh, karena di mata NU, mereka adalah "The Others" (Kelompok Lain) atau "Minhum" (Kalangan Mereka). Bagaimana mungkin menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis, jika politik identitas seperti "minna" (Kelompok Kami) dan "minhum" (Kelompok Mereka) masih tertanam kuat?
Jika PKPNU tidak segera berbenah, masih suka menciptakan "musuh-musuh imajiner", lebih-lebih menciptakan musuh yang real, maka NU akan betul-betul menjadi " sebatas gelugu," yang pernah dibayangkan oleh Mbah Wahab Hasbullah.
Hari ini, bukan lagi saatnya indoktrinasi-indoktrinasi yang mengarah pada perpecahan. Penguatan jatidiri ke-NU-an berbeda jauh dari politik identitas yang sempit. Penguatan jatidiri adalah tentang kesadaran kognitif, bahwa NU memiliki manhaj yang memang berbeda dari manhaj-manhaj ormas lain.
Apa dan Siapa NU Sejati?
Walaupun desakan terhadap Hadratussyeikh Hasyim Asy'ari untuk segera mendirikan jam'iyah sangat kuat, keinginan umat muslim tersebut tidak segera dikabulkan. Di satu sisi, secara spiritual, Mbah Hasyim belum mendapatkan restu dari Mbah Khalil Bangkalan. Ilham langit belum turun.